Bab 9

65.4K 5.2K 77
                                    


Nggak double up dan nggak memasang target. Cuma mau bilang makasih aja buat yang udah mampir dan meninggalkan jejak. Satu vote atau komen dari kalian itu adalah sebuah apresiasi dan suntikan semangat buat aku lanjutin cerita ini. Jadi, jangan sedih kalo aku lama update soalnya banyak siders yang bikin aku hilang semangat buat lanjut.




-----








Pelajaran olah raga di jam 11 adalah hal paling menyebalkan dan paling tak diinginkan oleh seluruh siswa kelas 11 IPS 2. Pasalnya pada jam-jam tersebut matahari sedang gencar-gencarnya memamerkan teriknya yang nyaris mampu membakar kulit.

"Ck! Nggak bisa dinego apa? Diganti jadi jam 7 pagi aja gitu," oceh Olin seraya merapikan seragam putih abu-abunya.

Sejak tadi cewek itu memang terus berceloteh, melayangkan protes yang sayangnya hanya bisa didengar oleh Kara seorang. Ya, habisnya yang lain sudah pada berhamburan di lapangan. Hanya tinggal mereka berdua yang masih betah di kelas dengan dalih ganti baju serta ganti sepatu.

Kara terkekeh untuk kesekian kalinya. Sembari memakai sepatu lari yang selalu ia simpan di loker, Kara pun berkata, "Kalo mau protes di depan pak Yanto, Lin. Jangan di depan gue."

"Ck! Boro-boro bisa protes di depan pak Yanto. Dengar dia napas aja gue udah kicep duluan. Apa lagi kalo lihat kumis tebalnya itu. Duh!" sahut Olin.

"Lagian, ya, Ra. Pak Yanto itu nggak cocok jadi guru olah raga," lanjut Olin.

Kara menaikkan sebelah alisnya. "Terus? Cocoknya jadi guru apa?"

"Kalo menurut penerawangan eyang gue, sih, pak Yanto itu lebih cocok jadi guru Matematika. Mukanya, kan, killer banget."

Tubuh kecil Kara kini sudah berdiri tegak. Berhadapan dengan Olin yang baru selesai dengan seragam putih abu-abunya.

Tanpa diperintah Kara langsung menggamit lengan Olin. Bermaksud mengajak sang sahabat untuk segera bergabung dengan teman-teman mereka.

"Udah. Jangan ngomongin pak Yanto mulu. Kasian," kata Kara.

"Dih, kasian kok sama pak Yanto. Kasian tuh sama elo," bantah Kara.

"Kok gue? Emang gue kenapa?" tanya Kara, bingung.

"Soalnya lo ...."

Olin menyeringai penuh makna.

" ... disayang doang, tapi nggak dikasih kepastian," ejek Olin.

Jleb.

Kata-kata Olin berhasil meresap sampai ke tulang sumsum. Lumayan nyelekit di hati Kara. Namun, Kara bisa apa? Protes pun percuma karena faktanya memang begitu. Ia memang merasa begitu disayang oleh Naresh, namun tak pernah diberi kepastian selain sebuah status paten, yaitu sahabat.

"Olin! Kara! Ayo segera masuk barisan!" seru Pak Yanto.

Ternyata mereka sudah sampai di lapangan. Lantas dengan segera baik Kara maupun Olin masuk barisan. Mereka akan melakukan pemanasan sebelu praktek lari keliling lapangan sebanyak 6 kali dilaksanakan.

"Ayo semua harus pemanasan dengan benar supaya nanti tidak cidera!"

Lagi-lagi suara Pak Yanto membahana. Menambah panas suasana yang sudah panas karena terik matahari.

"Yanto nyebelin! Panas-panas gini disuruh lari keliling lapangan. Panas-panas, tuh, harusnya disuruh minum es buah," gerutu Olin dengan suara pelan.

"Hush! Nggak boleh gitu, Lin. Kuwalat tau rasa lo," sanggah Kara.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now