Bab 23

51.4K 4.5K 335
                                    


Siklus hidup Kara akhir-akhir ini terasa monoton. Setiap detiknya yang ia rasakan hanya perasaan mengganjal atau bahkan kesal. Penyebabnya? Tidak perlu ditanya lagi karena jawabannya sudah pasti seorang Nareshta.

Dari dulu hingga sekarang Naresh memang telah mengambil bagian penting dalam hidup Kara. Naresh amat berpengaruh untuk Kara dan perasaannya. Apa yang cowok itu lakukan juga pasti akan selalu berdampak langsung pada hatinya.

Malam ini, Kara harus kembali menelan pil pahit kenyataan. Ia baru saja melihat pembaruan story instagram milik Yuna. Di sana Kara melihat dengan jelas sosok Naresh yang duduk di depan Yuna. Mirisnya mereka tengah nongkrong di kafe langganan Kara. Kafe yang sering Kara datangi bersama Naresh.

"Kenapa harus kafe itu, sih?" Kara bertanya pada kesunyian dapur.

Pandangannya tertuju pada microwave, namun pikirannya terus tertuju pada Naresh dan Yuna. Apa yang sekarang mereka lakukan? Apa mereka masih berada di kafe? Atau akan lanjut jalan-jalan? Apa yang mereka bicarakan? Seperti apa gaya bicara mereka saat hanya berdua? Sungguh, kepala Kara nyaris pecah karena dipenuhi oleh rentetan pertanyaan itu.

"Lo, tuh, bego, Ra ...."

Setelah menahan kesal, kini Kara mulai mengutuk dirinya sendiri.

"Harusnya gue dengerin kata Olin. Naresh emang manipulatif. Dia egois. Naresh bebas pergi sama Yuna dan sama cewek manapun, tapi gue nggak. Kenapa? Karena gue bego."

Lelehan air mata tiba-tiba terasa membasahi pipi Kara. Ia pun membiarkannya. Tak berniat menghapusnya karena kini dua tangannya sudah sibuk mengeluarkan brownies dari dalam microwave.

Brownies dengan tampilan yang begitu cantik itu sudah berada di atas meja pantry. Kara pun tak berniat mencicipi dan hanya menatapnya penuh pedih.

Alasan ia membuat brownies juga karena Naresh. Bukan. Bukan karena Naresh suka brownies melainkan karena Kara ingin mencoba melupakan luapan kecewanya terhadap Naresh. Tetapi, ternyata segala upayanya terbuang percuma.

Detik ini, Kara masih bertahan dengan kecewa, sedih, dan sakit di hatinya. Air matanya pun masih terus berjatuhan. Seakan semakin melukiskan seberapa menyedihkan dirinya.

"Lo benar-benar menyedihkan, Ra," lirih Kara seraya menundukkan wajah.

Emosi Kara semakin tak beraturan seiring berlalunya menit demi menit.
Dengan gerakan cepat Kara meraih brownies yang masih berada dalam cetakan. Ia sudah akan melempar makanan manis tersebut ke dalam tempat sampah, namun tak jadi ketika tubuh kecilnya merasakan dekapan yang begitu erat dan hangat.

"Askara ...."

Suara itu Kara sangat mengenalnya. Tetapi, kali ini kesannya sungguh berbeda. Kara tak merasa lega ketika mendengar suara sosok itu. Justru sesak berbondong-bondong mendera dadanya.

"Maaf ...."

Kara melepas paksa dekapan Naresh. Ia pun membuang brownies tadi dan berbalik. Mata sembabnya menatap Naresh dengan sorot penuh kecewa.

Perlahan, Naresh menggerakkan tangannya. Berniat meraih bahu sempit Kara. Namun, Kara menepisnya.

"Lo jahat, Resh," ucap Kara dengan gamblang.

"Iya. Gue tau," jawab Naresh.

"Lo tau? Selama ini yang lo lakuin itu nyakitin hati gue. Lo tau gue suka sama lo. Gue sayang sama lo, tapi lo selalu pergi ke cewek lain dan giliran gue dekat sama cowok lain lo pasti marah-marah dan ngelarang gue. Mau lo sebenarnya apa, sih, Resh?"

Kara mengusap kasar sisa air mata di sekitar wajahnya. Ia menarik napas guna mengontrol amarah yang nyaris meledak.

Malam ini sepertinya Kara sudah sampai pada ambang batas. Ia tak bisa lagi bertingkah seolah ia baik-baik saja melihat Naresh bersama Yuna.

Possesive PlayboyDonde viven las historias. Descúbrelo ahora