Bab 78

29.4K 2.9K 425
                                    


Detik demi detik terasa begitu mencekam. Proses operasi yang sedang berlangsung di dalam sana adalah penyebabnya. Sudah beberapa jam berlalu sejak tim medis membawa Naresh memasuki ruang operasi. Beberapa jam berlalu dengan berbagai kekalutan yang menyerang Tama, Kara, dan Arlan.

Setelah ini, akan ada hal baik terjadi. Namun, juga akan ada hal buruk yang akan sangat menyakiti hati mereka.

Seseorang telah berani berkorban. Seseorang merelakan nyawanya demi seorang teman yang amat berarti untuknya. Seseorang itu ialah Yere. Cowok yang selalu merasa gagal menjadi sosok kakak bagi Yuna. Cowok yang selalu merasa beruntung memiliki sahabat seperti Naresh.

Dalam hening yang kian mencekam, Arlan terduduk lemas. Wajahnya terlihat begitu pasrah pada keadaan. Mungkin, ia juga tengah berusaha merelakan sang putra.

Tetapi, tidak semudah itu. Perkara merelakan selalu jadi hal paling menyulitkan. Apa lagi jika merelakan kepergian sosok yang paling disayang.

"O-om ...."

Wajah Arlan terangkat kala mendengar lirihan Kara. Arlan tersenyum, lalu menepuk bangku di sebelahnya. Memberi isyarat agar Kara duduk di sana.

Kara langsung duduk di sebelah Arlan. Namun, bibirnya tak lagi berucap.

"Kamu pasti sangat mengenal Yere," ucap Arlan dengan suara seraknya.

"I-iya, Om. Tapi, saya yakin ... Om jauh lebih mengenal Yere," jawab Kara.

Lagi-lagi Arlan tersenyum.

"Kamu salah, Kara. Justru Om sama sekali nggak mengenal Yere. Om nggak tau apa yang dia suka, apa yang dia benci, cita-citanya, makanan kesukaannya, film kesukaannya, ... Om nggak tau apa yang akan dia lakukan saat sedang kesepian. O-om ... Om nggak pernah sekalipun mencoba untuk memahami Yere. Om ...."

Pertahanan Arlan runtuh seketika. Fakta bahwa ia sama sekali tak mengenal putranya sungguh sangat membuatnya sedih juga menyesal.

Arlan tidak pernah ada di hari ulang tahun Yere. Arlan juga tidak pernah ada saat kelulusan Yere atau saat pengambilan raport. Selama ini yang dia lakukan hanya bekerja dan memberi makan egonya yang begitu tinggi.

"Om benar-benar jahat, Kara. Om ... sudah membiarkan Yere menanggung semuanya sendirian," isak Arlan.

Kara tak mampu berucap apa-apa. Ia hanya menepuk punggung Arlan. Sesekali netranya menatap Tama yang berdiri di depan ruang operasi. Raut wajah Tama terlihat sulit untuk diartikan.

"Om nggak pernah sekalipun menanyakan kabar Yere. Om nggak pernah menemui dia. Setelah berbulan-bulan berlalu ... hari ini adalah pertemuan pertama kami ... dan ternyata juga pertemuan terakhir kami."

"Kamu tau, Kara?"

Arlan kembali menatap Kara dengan air mata yang berlinangan.

"Kamu tau ... tadi dia sempat bangun. Dia sempat bicara pada Papanya yang jahat ini ...," isak Arlan.

"Pa ... biarin ... Yere pulang, ya."

"Ta-tapi ... Yere titip Yuna. To-tolong ... jaga Yuna ... buat Yere. Jangan biarin ... Yu-Yuna sendirian ... lagi."

Tangis Arlan semakin pecah saat mengingat kata-kata terakhir Yere sebelum matanya tertutup sempurna.

"Kenapa harus Yere? Kenapa harus Yere yang menanggung semua ini, Kara? Seharusnya Om ... Om yang ada di dalam sana. Om yang salah."

Tanpa berucap apa-apa Kara langsung memeluk Arlan. Mereka menangis bersama. Mereka sama-sama meratapi seseorang yang setelah ini tak akan pernah bisa mereka lihat lagi.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang