Bab 27

50.3K 3.9K 163
                                    


Bel istirahat sudah berbunyi sejak 10 menit yang lalu. Namun, Kara masih setia duduk di bangkunya. Seakan-akan ada lem yang membuat tubuhnya melekat kuat pada benda berbahan kayu itu.

Di atas meja sudah terdapat buku catatan mata pelajaran Sejarah Indonesia. Buku yang sejak tadi jadi objek perhatiannya berikut papan tulis putih yang memuat deretan kata demi kata yang ia tulis satu jam yang lalu.

Risiko jadi sekretaris kelas memang seperti ini. Kara harus merelakan tangannya nyaris patah karena mencatat dua kali dengan jumlah kata yang berpotensi membuat sakit mata.

Kara memejamkan mata sambil mendongakkan wajah. Bermaksud mengusir pegal di sekitar leher belakang. Kemudian, ia beralih meneliti kondisi ruang kelas. Ternyata hanya ada dirinya seorang. Olin sudah pergi untuk rapat eskul Jurnalistik.

"Semester depan nggak lagi-lagi gue jadi sekretaris," ujar Kara penuh wanti-wanti.

Ia pun melanjutkan kegiatan mencatatnya. Meski kini tangannya mulai mati rasa. Sementara, masih banyak kata yang perlu ia cantumkan ke dalam buku.

Sekian menit berlalu akhirnya Kara selesai mencatat. Ia langsung memberesi alat tulisnya. Hingga tak lama derap langkah seseorang terdengar.

Kara tahu itu bukan derap langkah milik Naresh. Kara juga tahu bahwa sekarang Naresh pasti sedang bersama Yuna. Lalu, siapa sosok yang kini tengah menghampirinya itu?

"Kara?"

Wajah Kara terangkat. Disusul seberkas senyum tipis di bibirnya.

"Rengga? Ngapain di sini?" tanya Kara.

"Mau ngajak lo ke kantin," jawab Rengga.

"Gue lagi males ngantin, nih," tolak Kara.

Alasannya? Sudah jelas karena Kara tidak mau melihat kedekatan Naresh dan Yuna. Dia hanya ingin menyelamatkan hatinya dari potensi sakit hati. Tidak salah, kan?

"Tapi, lo belum makan, kan? Gimana kalo maag lo kambuh?"

"Gue bawa bekal, kok. Lo mau?"

"Huh?"

Rengga mendadak cosplay jadi orang dungu cuma karena pertanyaan Kara.

"Mau, nggak? Gimana kalo kita makan di taman belakang? Di sana anginnya sejuk," usul Kara.

"Bo-boleh."

Satu kotak bekal juga sebotol air minum kini telah ada dalam pelukan Kara. Lantas, Kara berdiri dan menarik tangan Rengga. Mengajak cowok itu menuju taman belakang sekolah.

Sengatan listrik bagai mendera tubuh Rengga ketika merasakan hangat dari tangan Kara. Degup jantungnya pun jadi bertalu-talu.

Ra, please. Jangan bikin gue makin berharap. Batin Rengga, nelangsa.

Susah payah Rengga menyembunyikan perasaannya pada Kara. Tidak lucu kalau sekarang ia ketahuan cuma karena hal klise seperti ini.

Tapi, tunggu! Kenapa gue harus sembunyiin perasaan gue? Karena Naresh? Naresh udah sama Yuna, kan?

"Rengga?"

"Rengga?!"

Tepukan di lengan akhirnya berhasil menyentak kesadaran Rengga.

"Hng?"

"Duduk."

Ternyata mereka sudah berada di taman belakang sekolah. Kara juga sudah duduk di atas rerumputan dengan kaki di luruskan dan punggung bersandar pada batang pohon beringin.

Sebelum duduk Rengga melepas almamaternya, kemudian meletakkan almamater itu di atas paha Kara yang sedikit terekspos karena rok pendeknya.

"Makasih," ucap Kara.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now