Bab 12

61K 4.8K 101
                                    


Sebelum baca jangan lupa tekan bintangnya dulu, ya.
🤗🤗🤗




"Nareshta!!"

Seketika Naresh membalikkan tubuh dan berdiri. Matanya membulat sempurna kala mendapati sosok Kara tengah berdiri dengan Rengga dan Satriya di belakangnya.

Raut wajah Rengga tampak dihias rasa bersalah. Tentunya karena gagal menghalau Kara masuk juga gagal menjaga rahasia tentang keberadaan mereka dari Kara.

"Ngapain di sini?" Naresh bertanya dengan nada dingin meski jantungnya tengah berpacu, gugup.

"Ngapain? Lo masih nanya ngapain gue di sini?" balas Kara.

Cewek itu berjalan dengan langkah tertatih. Kakinya yang kembali diserang perih pun tak ia pedulikan karena kini yang terpenting adalah membawa Naresh pergi dari sana. Menjauh dari Nayra yang nyaris hilang kesadaran.

"Ayo pulang!" ajak Kara.

Tangan kecilnya melingkupi tangan Naresh yang dihias bercak darah milik Nayra.

"Nggak!" tolak Naresh.

"Pulang, Naresh!" tekan Kara. Kesabarannya sudah habis.

"Lo--"

"Pulang!" tekan Kara, sekali lagi.

Tak ada pilihan lain. Akhirnya, Naresh mengalah dan membiarkan Kara menariknya pergi dari sana. Meninggalkan Rengga bersama Satriya serta Nayra.

Kini keduanya sudah berada di luar gerbang belakang sekolah. Berdiri menghadap si Juki alias ninja hitam milik Naresh.

Tak ada yang berniat membuka suara. Hanya suara hewan malam yang mengisi sunyi serta atmosfer mencekam di antara dua bersahabat itu.

Kara terus diam. Tak tahu harus berkata apa. Tenggorokannya juga mendadak sakit karena menahan sesak entah berapa lama. Tangannya pun saling mengepal dengan pandangan tertuju pada segala arah. Ke manapun asal tidak menatap sosok di sampingnya itu.

"Ra ...."

Bibir Kara tergigit kuat kala suara berat Naresh merasuki rungu, meruntuhkan seluruh cemas yang masih menderanya.

"Askara ...."

Lagi-lagi Naresh merapalkan nama Kara. Kali ini dengan suara yang begitu rendah. Disusul oleh genggaman hangat pada tangan Kara. Seketika membuat kepalan kuat itu akhirnya terurai.

Perlahan, Naresh melingkarkan tangannya. Mendekap tubuh kecil Kara dari belakang. Dagunya bersandar pada bahu Kara. Napas berat Naresh pun dapat Kara rasakan.

"Maaf ...," lirih Naresh.

Kara masih tetap diam. Seolah-olah tak terpengaruh dengan segala perilaku Naresh. Padahal, sebenarnya Kara sedang susah payah menahan air mata yang mendesak keluar. Air mata yang mewakili cemas serta rasa khawatirnya pada cowok berkulit seputih pualam itu.

"Maafin Nareshta, ya."

"Kita pulang. Sekarang," balas Kara, dingin.

***

Ruangan bernuansa minimalis kini jadi tempat Naresh dan Kara bernaung. Dengan sepi yang senantiasa menemani, Kara tampak begitu hati-hati membersihkan luka di tangan Naresh.

Setelah tiba di rumah, Kara baru menyadari adanya luka di tangan Naresh. Luka akibat menggenggam pecahan kaca beberapa saat yang lalu. Jika dilihat lukanya tidak terlalu parah. Tapi, tetap saja mengeluarkan darah dan pasti memicu rasa sakit yang cukup merepotkan. Buktinya sejak tadi Naresh sudah menahan napas. Kapas yang sudah dibasahi alkohol dan bertemu dengan luka di tangannya itu cukup mampu membuat Naresh mengeluh sekaligus mengumpat dalam hati.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now