Bab 19

49.1K 4.2K 128
                                    


Ruangan bernuansa cream itu kini tampak begitu hening. Hanya terdapat bangku-bangku kosong dan seorang cowok yang duduk di bangku paling belakang dekat jendela.

Kedua telinganya tersumpal earphone yang tengah memperdengarkan salah satu lagu kesukaannya. Sementara, netranya mematut atensi pada kotak bekal baby blue yang juga jadi salah satu benda favoritnya.

Naresh tak suka warna baby blue. Baginya warna itu adalah warna yang aneh dan seakan mendefinisikan sikap manja seseorang. Tetapi, tanpa sadar netra Naresh mulai terbiasa melihat warna tersebut. Bahkan, tanpa sadar ia juga mulai menjadikan baby blue sebagai warna favoritnya.

Semua karena sosok itu. Kara adalah sosok yang jadi penyebab Naresh mulai terbiasa dan menjadikan hal-hal yang semula tak ia suka berubah jadi begitu ia sukai.

Napas Naresh terhela pelan. Punggungnya bersandar pada board kursi. Sementara, wajahnya menengadah dengan kedua mata yang terpejam erat. Pelan-pelan berbagai raut wajah Kara terputar dalam benaknya. Hingga tiba-tiba ekspresi sedih dari cewek itu menjadi bagian paling mendominasi di benaknya.

Naresh tidak bodoh. Ia jelas tahu bahwa kejadian saat jam istirahat tadi bukan sekedar kejadian tak berarti. Naresh juga sangat tahu bahwa Kara begitu sedih setelah tahu Yuna menghabiskan bekal yang dibuat cewek itu untuknya. Iya, Naresh keterlaluan. Ia sangat paham itu. Tetapi, ia baru menyadarinya sekarang, setelah Kara merasa sedih dan kecewa.

"I'm sorry, Ra."

Percuma menggumamkan kata maaf seberapa banyak pun. Sebab, Kara tak akan mendengarnya. Harusnya tadi Naresh mengejar Kara, lalu meminta maaf pada cewek itu karena sudah keterlaluan cuma karena termakan amarahnya sendiri pada sesuatu yang tak seharusnya. Iya, Naresh jadi gegabah hanya karena melihat postingan Rengga kemarin sore. Lucu? Silakan tertawakan Naresh. Naresh sadar ia begitu konyol dan berpikiran dangkal. Apa lagi Rengga adalah sahabatnya sendiri.

"Ck!"

Decakan terdengar, mewakili perasaan pelik yang memenuhi dadanya. Ia pun menegakkan tubuh dan mulai mengotak-atik ponsel.

Naresh kembali menghela napas sebelum akhirnya mendial nomor Kara. Suara nada sambung pun terdengar beberapa detik. Hingga suara Kara terdengar tak lama kemudian.

"Halo, Resh?"

Tenggorokan Naresh langsung tercekat. Sulit untuknya berucap dan merespon sapaan Kara di seberang sana.

"Naresh? Halo?"

Suara Kara terdengar seperti biasa. Namun, Naresh tahu ada kecewa yang terselip di dalamnya.

"Ra ...."

Naresh membasahi bibirnya.

"Udah pulang?"

Di seberang sana Kara tak segera menjawab. Lalu, Naresh bisa mendengar suara beberapa orang.

"Lo lagi di mana?"

"Gue belum pulang. Ini masih ada rapat sama anak-anak eskul."

"Mau gue tunggui--"

"Nggak usah, Resh. Nanti gue dijemput tante Dinda. Dia sekalian mau mampir ke rumah."

Dinda adalah adik dari mama Kara. Perempuan usia awal 30-an itu adalah satu-satunya saudara sang mama yang belum menikah dan kerap mengunjungi Kara. Apa lagi saat tahu orang tua Kara kini semakin sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

"Resh?"

Keterdiaman Naresh pun memicu nada heran dari suara Kara.

"Iya? Oke. Kalo gitu gue pulang duluan."

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now