Bab 79

30K 3.2K 206
                                    


Akan ada saatnya hati manusia yang beku akhirnya luluh. Kebencian yang melingkupi akhirnya sirna. Penerimaan pada kenyataan pun menjadi satu-satunya hal yang bisa dilakukan.

Saat ini hal yang mampu Arlan lakukan adalah menerima kenyataan. Mencoba berdamai pada keadaan dan merelakan apa yang telah ia lepaskan hanya demi melindungi kekayaan yang tak seberapa.

Arlan telah mengabaikan Yere dan Yuna. Arlan juga secara tak langsung menjadi penyebab kepergian Yere karena ia gagal memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Kini, yang tersisa hanya penyesalan juga harapan agar setidaknya bisa bertemu sang putri pun melihat wajahnya. Walau Arlan tahu Yuna pasti sangat membencinya.

Duduk termenung di ruang kunjungan adalah hal yang tengah Arlan lakukan. Ditemani rasa sedih yang teramat kentara.

Setelah beberapa saat derit pintu akhirnya terdengar. Seorang petugas lapas datang bersama Yuna.

Cewek itu langsung mengubah ekspresi wajahnya tatkala melihat Arlan. Buncahan kebencian pun tampak begitu jelas.

"Mau ngapain Anda ke sini?" tanya Yuna terlampau ketus.

Tidak langsung menjawab, Arlan justru mengusap wajahnya kasar. Ia mengalihkan pandangan seolah tak sanggup menatap wajah lesu di depannya itu.

"Kalo nggak penting saya pergi," tutur Yuna.

"Yuna," panggil Arlan.

Senyuman sinis menghias sudut bibir Yuna kala rungunya mendengar Arlan menyebut namanya.

"Masih ingat nama saya ternyata. Tapi, bukannya Anda jijik dengan nama saya? Anda sendiri, kan, yang bilang bahwa saya itu kutukan untuk keluarga Anda," papar Yuna.

Rasa sakit yang Arlan tinggalkan ternyata tidaklah sepele. Buktinya hingga kini Yuna masih mengingat betul apa saja ujaran kebencian yang Arlan lontarkan padanya.

"Papa nggak akan minta maaf. Papa--"

"Papa?" potong Yuna. Ia juga tertawa cukup nyaring.

"Nggak salah? Sejak kapan kita punya hubungan darah?" sarkas Yuna.

Kali ini Arlan juga tidak menanggapi sarkasme Yuna. Ia justru mengeluarkan sebuah amplop dari saku tuksedonya. Sebuah amplop yang ia serahkan pada Yuna.

"Ini ... dari Yere," ucap Arlan.

"Yere? Kenapa? Nggak berani ketemu saya? Merasa bersalah?" cerca Yuna.

Ia jadi emosional saat membicarakan Yere.

"Bilang sama anak kesayangan Anda. Kalo dia emang merasa bersalah sama saya ... harusnya dia datang sendiri. Bukannya malah menitipkan surat," ungkap Yuna panjang lebar.

Wajah Arlan tergeleng pelan. Diikuti netra yang mulai memerah. Mungkin, ia tengah menahan tangis karena teringat Yere yang telah berpulang.

Sekuat tenaga, Arlan berusaha menatap Yuna.

"Kakakmu ... dia sudah pulang. Jadi, jangan benci dia lagi."

***

Langit siang ini terlihat begitu cerah. Tidak ada gumpalan awan sedikitpun.

Dari jendela ruang rawat Naresh, Kara tengah menatap langit cerah itu. Sesekali ia juga menoleh ke arah Naresh yang masih betah memejamkan mata.

Dokter bilang Naresh masih harus terus dipantau perkembangannya. Apa lagi ini sudah sehari sejak operasi berlangsung. Meskipun tak kunjung siuman, namun dokter Nevan terus meyakinkan Kara dan Tama bahwa Naresh akan baik-baik saja.

Possesive Playboyحيث تعيش القصص. اكتشف الآن