Extra Chapter 3

60.7K 3.3K 128
                                    


Note: Extra Chapter terakhir.





6 tahun kemudian

Cahaya matahari siang menerangi kamar Kara dengan leluasa karena pintu balkon yang sengaja dibuka. Penampakan kamar itupun terlihat jelas. Tidak banyak yang berubah meski sudah bertahun-tahun berlalu.

Kara duduk di tepi kasur. Kedua netranya mengedarkan pandang. Menyisipkan setiap detail dari kamarnya ini. Ruangan yang selalu jadi tempatnya bersembunyi dari segala hiruk-pikuk dan kejadian buruk yang menimpa hari-harinya. Ruangan yang mulai hari ini tak akan ia tempati lagi.

Mengingat kenangan yang lalu Kara tersenyum. Lantas, ia sadar ternyata waktu berlalu dengan cepat. Rasanya baru kemarin ia menjadi murid SMA, memakai seragam putih abu-abu dan bergabung dengan eskul marching band. Rasanya baru kemarin pula ia jadi mahasiswa dan menjalani hari-hari yang luar biasa melelahkan. Namun, ternyata sudah 6 tahun berlalu.

Masih dengan senyum yang terukir, Kara menundukkan wajah. Ia menatap cincin yang tersemat di jari manisnya. Cincin yang beberapa hari lalu resmi menjadi tanda pengikat antara dirinya dan sosok yang selama 6 tahun ini selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

"Oh, iya!"

Seakan teringat sesuatu, Kara langsung menghampiri lemari dan membukanya. Ia menarik laci paling bawah dan meraih sebuah kotak kecil.

Saat dibuka sebuah gelang dengan ukiran namanya pun terlihat dengan jelas. Gelang itu tidak berubah meski sudah bertahun-tahun berlalu. Meski tidak lagi pernah ia pakai setelah pertengkaran hari itu, di belakang sekolah.

"Masih bagus," gumam Kara seraya memakai gelang tersebut.

Senyumnya semakin merekah ketika melihat betapa cantik gelang itu. Sampai ia merasakan sepasang lengan yang melingkar posesif di pinggangnya.

"Kamu masih simpan gelang itu?"

Kara mengangguk tanpa bersuara. Ia masih menatap gelang di tangannya sambil menahan senyum. Sementara sosok di belakangnya mulai mengecupi pipi dan pelipisnya.

"Naresh!" protes Kara. Ia merasa geli karena tindakan Naresh.

"Kenapa, sih?" tanya Naresh.

"Geli!" sungut Kara.

"Geli-geli enak, ya?"

"Aww!!"

Naresh memundurkan tubuh karena tulang keringnya yang ditendang dengan beringas. Padahal, niatnya hanya ingin becanda. Tapi, Kara malah memberinya hadiah super spesial.

"Sakit, Ra. Kamu, tuh, kebiasaan banget. Ini KDRT namanya," rengek Naresh.

"KDRT? Bodo amat," sahut Kara, lalu kembali duduk di tepi kasur.

Sambil menahan sakit Naresh pun ikut duduk di samping Kara.

"Sakit banget, ya?" tanya Kara. Perempuan itu merasa bersalah saat melihat raut wajah Naresh.

"Mau coba?" balas Naresh.

Lantas, Kara hanya menanggapinya dengan dengusan.

Menit-menit berikutnya mereka saling diam. Seolah tenggelam dalam lamunan masing-masing. Namun, ternyata tidak demikian. Kara mungkin sedang melamun, tapi Naresh diam karena memperhatikan lekuk wajah perempuan yang kini sudah jadi istrinya itu.

Rasanya masih seperti mimpi bagi Naresh. Apa lagi saat mengingat bagaimana 3 hari yang lalu ia mengucapkan ijab kabul di depan orang tua Kara dan juga papanya. Momen itu masih sangat mampu membuat jantung Naresh berdebar hebat.

"Ada barang yang mau kamu bawa?"

Akhirnya, Naresh bertanya setelah beberapa saat sibuk mengagumi wajah cantik Kara.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now