Bab 11

67.5K 4.8K 127
                                    


2000++ words semoga nggak bosan, ya.
Selamat membaca!
🤗🤗🤗







-----





Detak jarum jam menjadi satu-satunya suara yang menghuni kamar bernuansa baby blue itu. Padahal, di sana ada dua manusia yang jika dalam suasana seperti biasa pasti sudah sibuk berdebat dan membicarakan hal-hal random. Sayangnya, khusus di malam ini salah satu dari mereka, yakni Naresh terlihat lebih memilih fokus pada ponsel mahalnya. Sekilas terlihat seperti mengabaikan sang sahabat, Kara.

Diam-diam Kara melirik Naresh yang duduk di ujung kasurnya. Berniat menilik ekspresi dari cowok arogan sekaligus dingin itu.

Wajahnya pun meringis, ngeri. Menyadari betapa kaku dan dingin sosok itu. Seketika aura kelam terasa kental di sana.

Kara membasahi bibirnya. Mencoba peruntungan untuk meruntuhkan dinding kesunyian di antara mereka.

"Naresh?" panggil Kara, gugup.

Detik itu juga Naresh mengangkat wajah dengan alis kanan yang dinaikkan.

"Kenapa, Ra? Butuh sesuatu?" tanya Naresh penuh perhatian.

Meski raut kaku masih tergambar jelas, namun tidak dengan nada bicaranya yang melembut.

"Nggak, kok. Lo ... nggak mau pulang? Nggak mandi?" Kara bertanya dengan hati-hati.

"Lo mau mandi?" Naresh balas bertanya, kemudian melirik kaki kanan Kara yang terbalut perban.

Sorot mata Naresh seketika menggelap. Menyimpan amarah yang begitu besar karena mengingat penyebab dari luka di kaki Kara.

"Resh, gue udah nggak apa-apa, kok. Lo mending pulang terus istirahat. Lo pasti capek," tutur Kara penuh perhatian.

Seharian ini Naresh memang belum menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Ia begitu sibuk mengurusi dan menjaga Kara hingga nyaris lupa pada dirinya sendiri.
Tetapi, penuturan Kara tampaknya tak mampu mempengaruhi Naresh.

"Nggak. Gue mau di sini jagain lo," tandas Naresh.

Perlahan, Kara beringsut mendekat. Posisinya pun menjadi begitu dekat dengan Naresh.

Tanpa ragu ia meraih tangan kiri Naresh yang tak menggenggam ponsel. Diusapnya tangan itu dengan lembut. Sejenak, mampu menghantarkan hangat dan nyaman dalam lubuk hati Naresh.

Mata Naresh pun refleks terpejam. Deru napasnya juga terdengar lebih tenang. Ya, Kara memang obat terbaik untuk Naresh.

"Gue nggak udah nggak apa-apa, Naresh. Jadi ...." Kara menjeda kalimatnya sembari terus mengusap punggung tangan Naresh.

Iris pekat Naresh kembali terbuka tatkala ucapan Kara tak juga berlanjut.

"Jadi, apa?" tanya Naresh.

"Jadi, bisa lo batalin niat lo buat cari pelaku--"

"Nggak akan!" tolak Naresh.

"Tapi, balas dendam juga nggak ada untungnya, Resh," sanggah Kara.

"Ada! Keuntungannya gue bisa bikin orang itu ngerasain apa yang lo rasain," tekan Naresh.

Bibir Kara sudah kembali terbuka. Untaian kata pun nyaris mendesak keluar, namun dering ponsel Naresh mengacaukan segalanya.

Dengan cepat Naresh menerima panggilan tersebut. Terlibat perbincangan serius selama beberapa sekon sebelum akhirnya panggilan selesai.

Atensi Naresh kembali pada Kara. Tubuhnya sedikit merendah, lalu tangannya mendarat di pipi Kara. Memberikan sentuhan lembut disusul kecupan ringan di kening.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now