Bab 82

32.3K 2.8K 72
                                    


"Selamat, Naresh!"

Dokter Nevan tersenyum cerah saat akhirnya melihat Naresh yang hendak meninggalkan rumah sakit. Hari ini Naresh memang sudah diizinkan untuk pulang.

"Terima kasih, dok," ucap Naresh.

Dokter Nevan mengangguk singkat. Ia menepuk bahu Naresh, kemudian pergi karena masih harus mengunjungi beberapa pasien.

"Akhirnya!" seru Naresh, lega.

Di sampingnya, Kara tersenyum melihat ekspresi Naresh.

"Yuk! Om Tama udah nunggu di rumah," terang Kara.

"Papa di rumah, Ra? Aku kira lagi ada kerjaan," sahut Naresh.

Sembari menjijing tas milik Naresh, Kara berkata, "Nggak, Resh. Om Tama sengaja nggak ngantor karena mau masakin makanan yang banyak buat kamu."

"Asik! Makan-makan!" seru Naresh.

Keduanya keluar dari ruang rawat.

"Eh, kabarin si Yere, Ra. Tuh, anak kan paling suka makan gratis," cetus Naresh.

Tenggorokan Kara mendadak tercekat.

"H-huh?" Kara menyahut gelagapan.

"Telfon Yere. Dia udah balik ke Jakarta, kan? Minggu depan kan udah masuk sekolah," oceh Naresh.

Tiba-tiba Kara menghentikan langkahnya. Alhasil, Naresh pun melakukan hal yang sama.

Naresh menoleh ke arah Kara.

"Kenapa, Ra?" Ia bertanya penuh heran.

Sebelah tangan Kara membenahi kerah kemeja Naresh.

"Resh ...." Kara memaksa senyumnya, lalu berucap, "Sebelum pulang ikut aku ke suatu tempat dulu, ya."

"Ke mana?" tanya Naresh.

"Pokoknya ikut aja. Ya?"

Naresh mengangguk patuh.

Lantas, keduanya kembali berjalan dengan tangan saling bergandengan.

***

Taksi yang membawa Naresh dan Kara terus melaju membelah ramainya jalan raya. Namun, suasananya tak terlalu jenuh karena Naresh yang betah berceloteh.

"Ra, nanti kita ke kafenya Rajendra lagi, yuk!" ajak Naresh.

"Boleh. Aku juga kangen sama dessert andalannya," jawab Kara.

Kemudian, cewek itu mengalihkan atensi. Kini, lalu lalang kendaraan jadi objek fokusnya.

"Ra, kita mau ke mana, sih?" Naresh bertanya dengan nada penasaran.

Sontak, Kara kembali menatap Naresh. Bibirnya mengulas senyum tipis.

"Nanti kamu juga akan tau."

Tak lama, taksi yang mereka tumpangi memasuki sebuah area yang tak terlalu ramai. Di sisi kanan dan kirinya ada pohon-pohon yang berjejer dengan daun hijau rindangnya.

"Pak, berhenti sebentar di toko bunga depan, ya," pinta Kara.

Sopir taksi mengangguk pun berkata, "Baik, mbak."

"Mau beli bunga buat siapa, Ra?"

"Ada, deh." Suara Kara terdengar agak serak.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang