Bab 14

61.9K 4.2K 77
                                    

Denting gitar yang menenangkan terus terdengar. Menemani malam lengang Kara serta Naresh setelah hari yang panjang.

Dua orang itu tampak duduk di atas karpet yang terbentang di lantai balkon. Dengan selimut menghias punggung keduanya.

Kepala Kara bersandar nyaman di bahu Naresh. Iris cokelatnya pun terpejam. Seolah tengah menikmati irama merdu yang terus menjejali rungu dan menghantarkan hangat dalam sudut hatinya. Ah, jika perihal bermain gitar, Naresh adalah jagonya.

Kara yakin hanya bermodalkan main gitar saja cowok itu akan mampu menggaet puluhan cewek untuk jadi pacarnya.

Mikir apa, sih, Ra? Kara membatin, kesal pada dirinya sendiri.

Ia pun mencoba mengusir pemikiran aneh itu. Lantas kembali tenggelam bersama denting gitar yang dihasilkan oleh jari-jemari Naresh.

Sebelah tangan Kara bergerak perlahan, memeluk lengan Naresh. Kepalanya semakin menyeruk hingga hidungnya nyaris bersentuhan dengan leher kokoh Naresh.

Wangi parfum Naresh pun tercium dengan jelas. Wangi cokelat yang berhasil membuat Kara merasa semakin nyaman dan betah berlama-lama berada di dekat cowok itu. Ya, siapa sangka cowok yang kalau sedang marah bisa seganas singa itu ternyata suka aroma cokelat sebagai parfumnya? Tentu tak ada.

Samar-samar senyum pun menghias bibir Kara. Bersama dengan denting gitar yang kini sudah tak lagi terdengar. Tersisa keheningan yang cukup lama. Bukan hening berkesan canggung, namun hening yang tenang.

"Wangi kamu ... aku suka."

Suara lirih samar tertangkap oleh indera pendengaran Naresh. Sontak memancing lengkung tipis untuk terbit di bibirnya.

"Aku?" beo Naresh.

"G-gue maksudnya," ralat Kara.

Gitar dalam pangkuan Naresh kini berpindah ke lantai. Sementara lengan yang semula dipeluk oleh Kara, kini beralih merangkul bahu cewek itu. Mendekap hangat dan erat.

Elusan lembut dapat Kara rasakan di lengan atasnya. Bersama dengan pucuk kepalanya yang terus menerima kecupan demi kecupan penuh perhatian.

"Orang tua lo kapan balik ke Indonesia?" Naresh bertanya setelah lama menikmati hening.

"Nggak tau," gumam Kara.

Napas Kara terhela berat. Seakan sedang menahan beban berat yang menjejali dadanya.

"Beberapa bulan ini mereka sibuk banget. Bahkan, saking sibuknya telepon gue sampai nggak pernah diangkat," ujar Kara dengan nada penuh kesenduan.

Semandiri apapun dirinya dan senyaman serta sesuka apapun dirinya pada ruang sepi, tetap saja ia rindu suasana rumah yang hangat. Di mana ada tawa menggelegar sang papa saat menyaksikan acara Ini Talk Show serta teriakan mama yang meminta papa untuk membantunya mengangkat galon air. Kara rindu ketika rumahnya diisi oleh perdebatan papa dan mama hanya karena masalah memajang lukisan atau menata pot bunga di halaman belakang. Kara rindu suasana pagi hari saat Kara dan papa bangun terlambat dan berakibat mendapat omelan super pedas dari mama. Kara rindu semua momen itu. Momen yang entah kapan akan terulang lagi.

Lelehan air mata tanpa sadar telah membasuh wajah Kara. Membiaskan pedih dan kerinduan yang selama ini mati-matian ia pendam serta sembunyikan.

"Gue kangen mereka ... gue kangen mama sama papa ...," lirih Kara, lalu memeluk pinggang Naresh erat.

Wajahnya tenggelam di dada bidang Naresh. Di sana, di tempat ternyaman itu Kara menangis tanpa suara. Lantas Naresh terus menghujani pucuk kepala Kara dengan kecupan-kecupan ringan.

"Askara ... gue di sini. Walaupun gue nggak bisa ngurangin kangen lo ke mereka, tapi seenggaknya gue bisa sedikit ngalihin rasa kangen lo," tutur Naresh.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now