Bab 72

32.2K 2.9K 207
                                    


"Ra, udah, dong. Jangan sedih ... terus. Kan ... gue udah ... bangun."

Cowok itu berusaha tersenyum dan bercanda padahal kondisinya sangat lemah. Untuk duduk saja rasanya tak sanggup. Bicara pun harus sampai menguras tenaga. Namun, Naresh tetap bebal dalam berpura-pura di depan cewek yang ia sayang.

"Ra ...."

Naresh kembali memanggil Kara yang sejak tadi duduk sambil memalingkan wajah. Mungkin, enggan membiarkan Naresh tahu betapa buruk rupa dirinya saat ini. Matanya sembab dan wajahnya sedikit bengep karena terlalu lama menangis.

"Lihat gue, dong, Ra. Gue ... kangen," pinta Naresh.

Akhirnya, Kara menyerah. Ia pun membalas tatapan lemah Naresh. Kesedihannya pun berbondong-bondong kembali.

"Lo jahat banget, sih, ... hiks ... hiks ... kenapa pake ... pingsan segala ... hiks," isak Kara.

Bukannya ikut sedih Naresh justru tersenyum geli. Raut wajah dan isakan Kara yang jadi penyebabnya.

"Orang pingsan ... kok malah dikatain ... jahat, sih, Ra," ucap Naresh dengan pelan.

"Ya, terus apa? Kejam? Sama aja, kan?" sahut Kara masih sambil menangis tersedu-sedu.

Naresh terkekeh geli, lalu menggenggam tangan Kara.

"Gue nggak apa-apa, Ra. Lihat, kan?"

"Gue masih bisa ... pegang tangan lo," imbuh Naresh.

Cewek itu mengangguk paham. Ia mencoba mempercayai kata-kata Naresh. Meskipun jauh di lubuk hatinya rasa khawatir masih terus bersemayam.

Kara balas menggenggam tangan Naresh. Tangisnya sudah mulai reda meski matanya masih sedikit sembab.

"Udah. Jangan nangis lagi," tutur Naresh.

"Gue takut lo pergi, Resh," ungkap Kara.

Tak ada senyum di bibir Kara ketika kalimat itu terucap. Seakan-akan membuktikan bahwa ia memang benar-benar takut.

"Gue ... nggak akan ke mana-mana, Ra," kata Naresh.

"Tapi, gue tetap takut. Gue takut lo tiba-tiba pergi," ungkap Kara.

Hening.

Tak ada jawaban dari Naresh. Hanya genggaman yang erat juga tatapan yang begitu dalam.

Ada gulungan emosi di benak masing-masing. Emosi saat mengingat takdir seperti apa yang tengah menanti mereka. Apakah semua tetap baik-baik saja hingga akhir? Atau justru kisah mereka dipaksa berakhir sebelum benar-benar mencapai akhir?

"Gue sayang sama lo," ungkap Kara.

Naresh melebarkan senyumnya.

"Gue lebih sayang sama lo," balas Naresh.

"Ekhmm!"

Deheman keras berhasil melunturkan suasana romantis yang semula tercipta.

Di depan pintu sudah ada Tama yang masih dalam balutan setelan kantornya.

"Om Tama?" sapa Kara.

Tama memasuki ruang rawat.

"Iya, Kara. Kamu kira siapa?" kelakar Tama.

"Papa ... ganggu, deh," kata Naresh.

Tama yang semula hendak duduk di sofa pun jadi mengurungkan niat karena celetukan sang putra.

Lelaki itu mendekat pada Naresh dan Kara.

"Durhaka kamu," sahut Tama.

"Naresh ... cuma bilang yang sejujurnya, Pa," sanggah Naresh.

Possesive PlayboyOù les histoires vivent. Découvrez maintenant