Bab 77

28.6K 2.8K 310
                                    


Bunyi monitor jantung kini jadi satu-satunya pengisi suara di ruangan serba putih itu. Tidak ada lagi senyum atau bahkan tawa dari Naresh. Yang ada hanya kedua netra yang terpejam sepenuhnya. Wajah yang pucat pasi serta alat-alat medis yang melekat di tubuhnya. Semua itu sudah menjelaskan bagaimana kondisi Naresh saat ini.

Tanpa berucap sepatah katapun Kara menggenggam tangan Naresh. Namun, dalam hati ia terus berdoa agar Naresh dapat bertahan.

"Resh ...."

Kara menggigit bibirnya kala air mata kembali mendesak keluar. Ia sungguh ingin menguatkan dirinya demi Naresh. Namun, hatinya ternyata sangatlah rapuh.

"Jangan tinggalin gue, ya ...," lirih Kara.

"Gue sayang sama lo. Gue cuma punya lo. Lo harus bertahan atau gue bakal ... benci sama lo."

Di masa lalu mungkin Naresh terlampau sering menorehkan luka di hati Kara. Naresh sering menjeratnya dengan kata sahabat. Naresh juga sering bersikap seenaknya yang lagi-lagi dengan dalih sahabat. Namun, meski begitu Kara tidak pernah bisa membenci cowok itu. Naresh mungkin menyakitinya terlampau sering, tapi cowok itu juga jadi satu-satunya orang yang ada dalam setiap momen pentingnya. Jadi, Kara sungguh berharap Naresh akan terus bersamanya. Naresh akan tetap jadi saksi di setiap momen penting dalam hidupnya.

Tangisan Kara kembali terdengar kala mengingat kenangan masa lalu mereka. Saat mereka bertengkar, lalu kembali berbaikan. Saat Naresh sering memintanya membuatkan bekal sandwich dan telur orak-arik. Saat Naresh malas berolahraga dan merengek seperti anak kecil. Semua kenangan itu, Kara mengingatnya dengan jelas.

Lantas, saat sadar kini Naresh sedang berjuang dan berada di ambang kematian hati Kara pun hancur berkeping-keping. Kara sangat ingin melakukan sesuatu untuk membantu Naresh. Tapi, hingga detik ini ternyata tak ada hal apapun yang mampu ia lakukan selain menangis. Setiap kali Naresh kesakitan hanya tangisan pilu yang mampu ia berikan. Sungguh menyedihkan. Begitulah pikir Kara.

"Resh, gue tau lo kuat. Lo pasti bisa bertahan. Iya, kan?"

Diiringi air mata yang terus mengalir, Kara mencium punggung tangan Naresh.

"Gue janji ... gue akan selalu di samping lo, Resh. Gue nggak akan pergi seperti yang selama ini udah gue lakuin. Jadi, lo juga harus lakuin hal yang sama."

Mata lelah Kara membingkai wajah Naresh yang pucat serta dihuni oleh alat bantu pernapasan.

Bibirnya yang kering pun kembali berucap, "Gue akan selalu nunggu lo di sini, Resh."

***


Dua orang itu duduk berhadapan, namun saling diam. Yang satu memakai kemeja berlapis sneli sementara yang satunya masih menggunakan baju khusus operasi. Tapi, hal yang membuat mereka tampak tak sama adalah raut wajah yang begitu suram.

"Dokter Nevan?"

Sang pemilik nama mengangkat pandangan. Mencoba mengabaikan selembar kertas yang sejak tadi menjadi objek perhatian juga mengusik benaknya.

"Saya kenal pasien ini, dok," kata dokter Nevan.

"Ya. Saya tahu. Dia ... adalah teman dari salah satu pasien Anda, kan?" tanya dokter Reynand.

Dokter Nevan mengangguk sembari tersenyum getir. Entah kenapa ia merasa begitu menyesal saat menyadari hal apa yang baru saja terjadi.

"Bagaimana kondisinya sekarang?" tanya dokter Nevan.

Tak langsung menjawab, dokter Reynand justru menarik napasnya. Ia meraup wajahnya dengan kasar. Seakan ingin membuang gelisah yang mendera.

"Tidak ada harapan. Luka akibat benturan di kepalanya sangat parah. Terjadi pendarahan di otak dan ... operasi yang telah dilakukan juga tidak memberikan efek yang baik," papar dokter Reynand.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now