Bab 52

48.9K 4.5K 791
                                    


Hai, guys! Senang banget malam ini bisa update lagi.
Jangan scroll dulu, ya.
Aku mau ngucapin terima kasih buat yang udah selalu vote dan komen di cerita ini. Aku tau cerita ini masih jauh dari kata bagus dan berkualitas. Masih banyak kekurangan dari cerita ini. Apa lagi aku juga bukan penulis yang udah waaah banget. Aku di sini cuma berusaha menuangkan apa yang ada dalam pikiran aku. Hehe.

Dan soal plot twist dari Yuna yang ternyata suka sama Kara, ada beberapa dari kalian yang mungkin merasa nggak masuk akal, aneh, atau nggak nyambung sama konflik-konflik di awal. Di sini aku mau kasih tau kalo dari beberapa bab awal aku udah kasih clue soal Yuna ini.
Aku juga sengaja menggambarkan seakan-akan Yuna itu terobsesi buat memiliki Naresh. Padahal, aslinya Yuna terobsesi buat bikin Kara benci sama Naresh. Dengan kata lain, sejak awal Yuna deketin Naresh, ya, emang dengan tujuan itu. Di sini aku juga berusaha menjelaskan kalo karakter Yuna itu suka Kara, tapi dia nggak bisa bilang dan nggak mungkin juga memiliki Kara. Dari situ akhirnya  dia punya semacam pemikiran bahwa kalo dia nggak bisa memiliki Kara berarti orang lain juga sama. Naresh adalah salah satunya.

So, segitu aja cuap-cuap dari aku.
Semoga cerita ini bisa tetap menghibur kalian.

---


Setiap pintu terbuka, bel di atas pintu berdenting. Lantas, Naresh juga berkali-kali menoleh ke arah pintu. Berharap dari sekian banyak pengunjung yang memasuki kafe ada satu orang yang ia tunggu sejak 30 menit yang lalu.

Gusar sudah pasti Naresh rasakan. Bukan hanya karena sudah menunggu selama 30 menit, tapi juga karena hal yang jadi alasan ia sampai meminta bertemu dengan sosok itu.

Bel pintu kembali berdenting. Naresh menoleh ke arah pintu. Dadanya berdesir lega ketika akhirnya melihat sosok yang ia tunggu telah datang.

"Sori. Tadi ada urusan bentar."

"Nggak apa-apa. Gue mau nanya hal yang penting. Gue harap lo bisa jawab dengan jujur," ucap Naresh tanpa basa-basi.

Sosok ber-hoodie hitam itu sedikit mengernyit ketika sadar bahwa atmosfer di antara mereka terasa cukup berat. Apa lagi di tambah dengan ekspresi Naresh yang begitu serius.

"Bentar, deh. Gue baru aja sampe. Belum juga pesan minum. Masa udah mau lo interview? Santai dulu, dong. Izinkan kakanda Yere minum," celoteh cowok yang biasa dipanggil Yere itu.

Mendesah pasrah adalah hal yang dapat Naresh lakukan. Memang menghadapi Yere yang gesrek itu perlu stok kesabaran berlebih.

"Ya, udah. Sana pesan minum!" titah Naresh.

Yere tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia memanggil pelayan kafe dan memesan minuman kesukaannya. Tak sampai 5 menit pesanannya sudah datang. Tentu saja karena kondisi kafe yang tidak terlalu ramai pengunjung.

"Jadi, mau nanya soal apa?" tanya Yere begitu selesai membasahi kerongkongannya dengan es boba.

Tak langsung menjawab, Naresh justru mendorong ponselnya ke depan Yere. Sontak, atensi Yere berpindah pada benda pipih berwarna hitam itu.

"Lihat baik-baik!" titah Naresh.

Wajah Yere berubah pucat begitu melihat potret di ponsel Naresh. Tangannya juga agak bergetar. Seolah-olah memberi tahu Naresh bahwa saat ini ia cukup terguncang.

"R-Resh ... dari mana lo--"

"Lo kakak kembarnya Yuna. Lo juga tau kalo ... kalo Yuna suka sama Kara?"

Naresh bertanya dengan suara agak tercekat. Menjengkelkan baginya ketika harus menyebutkan fakta menjijikkan itu secara gamblang.

Namun, saat Naresh sudah berusaha keras untuk bertanya, Yere justru tak kunjung memberikan jawab. Cowok itu hanya diam. Seolah-olah bibirnya tengah ditutup rapat oleh lakban.

Possesive PlayboyWhere stories live. Discover now