Bab 31

53.8K 4.3K 320
                                    


Jika ada yang bertanya di mana tempat paling tepat untuk bersembunyi dan menumpahkan tangis kesedihan bagi seorang Askara, maka jawabannya adalah toilet sekolah. Memang tidak ada elit-elitnya, tapi Kara sama sekali tak peduli. Sebab, saat ini yang ia butuhkan adalah tempat sepi agar ia bisa sepuasnya menangis.

Sudah lebih dari 10 menit Kara duduk di atas kloset yang tertutup. Wajahnya masih dibanjiri air mata. Bahkan, kedua matanya terlihat bengkak. Wajahnya juga sedikit bengep.

"Brengsek ... hiks ...."

Isakan pilu terus keluar bersama makian yang tertuju untuk Naresh. Sayangnya, meski sudah berkali-kali memaki Naresh, perasaan Kara tak kunjung membaik. Hatinya masih didera sakit. Ingatannya pun masih tertuju pada pertengkaran mereka yang belum genap 1 jam terjadi.

Tangis Kara semakin pecah. Sunyinya toilet sekolah pun menjadi saksi. Tak ingin terdengar hingga keluar toilet, maka Kara terpaksa membungkam mulutnya.

Selama ini Kara memang sering bersedih dan menangis karena ulah Naresh. Namun, saat ini adalah kali pertama Kara terisak demikian pilu karena Naresh. Saat ini Kara merasa tiba pada luka dan sakit terparahnya sosok Nareshta. Atau mungkin masih akan ada yang lebih parah dari ini?

"Gue sayang sama lo, Resh. Ta-tapi ... hiks ... tapi kenapa ... kenapa lo jahat? Kenapa lo nggak bisa lihat ketulusan gue? Hiks ... hiks ... kenapa lo harus sejahat itu sama gue? Salah gue apa, Resh?"

Detik ini, Kara meluapkan keluh kesahnya. Ia yang semula takut suaranya terdengar hingga keluar toilet pun jadi tak peduli lagi.

Dari dulu Kara tak pernah melihat cowok manapun. Baginya Naresh adalah satu-satunya cowok terbaik yang ia kenal meski terkadang sikap cowok itu membuatnya sakit. Namun, kini akhirnya Kara benar-benar sadar bahwa ia terlalu cinta pada Naresh hingga melupakan fakta yang ada. Kara sengaja menutup mata dan menulikan telinga. Hanya karena rasa cintanya.

"Lo jahat, Resh ....."

"Tapi gue nggak bisa benci sama lo ...."

Kara kembali terisak ketika mengingat bagaimana ia membuang gelang pemberian Naresh juga raut terkejut yang terbias di wajah Naresh.

"Ck!"

Setelah berdecak, Kara berdiri dan mengusap wajahnya yang masih dihias linangan air mata. Ia keluar dari toilet dan bergegas kembali ke taman belakang.

"Di mana, ya?"

Hamparan rumput hijau dan bunga-bunga yang tumbuh di taman membuat Kara kesulitan untuk menemukan gelangnya. Hal itu membuat emosi Kara jadi semakin tak beraturan. Marah, kesal, sedih, sakit hati dan kecewa. Semua melebur jadi satu.

"Gelangnya di manaaaaa ...," rengek Kara sembari bersimpuh di atas rerumputan.

"Huwaaaaa!"

Kara menangis meraung-raung. Tak peduli pada kemungkinan setan penunggu pohon beringin di tempat itu akan terganggu oleh tangisannya.

"Gelang gue ... hiks ... hiks ...."

"Cari ini?"

"Hng?"

Tangis Kara terhenti kala sesosok cowok berdiri di depannya sembari menyodorkan gelang yang sudah putus.

"Re-Rengga ...," lirih Kara.

Rengga berlutut untuk menyamai posisi Kara.

"Gelangnya udah ketemu, jadi jangan sedih lagi," ujar Rengga, lalu mengusap air mata di wajah cantik Kara.

Dengan patuh Kara mengangguk.

"Kara ...."

Sosok lain datang dari belakang Kara. Mereka ikut berlutut dan mengelilingi Kara.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang