Bab 81

31.2K 2.8K 168
                                    


Jika waktu bisa diputar kembali, maka semua pasti akan sedikit lebih mudah. Sesal yang terasa setelah segala kesalahan yang telah dilakukan akan sedikit mereda karena tahu ada kesempatan untuk memperbaiki. Sayangnya, semua itu hanya angan-angan semata. Semua itu hanya isi pikiran Yuna yang separuhnya telah kacau.

Nyatanya kini semua sudah terlanjur terjadi. Tragedi paling mengerikan dalam hidupnya tak bisa dicegah lagi.

Yang mampu Yuna lakukan hanya duduk, meringkuk di sudut ruang sel tahanan sembari menatap secarik kertas yang telah kusut. Dihias bekas lipatan yang nyaris membuat kertas itu robek.

Likuid bening memenuhi sudut mata Yuna. Lalu, terjatuh dan membasuh kedua pipinya yang pucat layaknya mayat.

Bukan dinginnya sel tahanan yang jadi penyebab melainkan kertas pemberian Arlan. Kertas yang memuat kekejaman seseorang dalam meninggalkannya begitu saja.

Tangan Yuna yang bergetar, kini meraih kertas itu. Menatapnya dengan sorot nanar bersama air mata yang terus berjatuhan.

Yuna sudah berkali-kali membaca isi surat itu. Berharap sekali saja isinya akan berubah. Namun, tentu itu tak mungkin terjadi.

Yuna ... adiknya Kak Yere.

Kalau surat ini udah sampai di tangan kamu berarti kakak udah pulang.
Kakak juga nggak akan ganggu hidup kamu lagi.
Kakak tahu selama ini kakak nggak pernah bisa jadi sosok kakak yang baik buat kamu.
Kakak jahat ... Iya, kan?

Yuna ...

Maafin kakak, ya.
Maaf karena nggak pernah ada buat kamu.

Seandainya ...
Hanya seandainya kamu tiba-tiba kangen sama kakak ... kamu bisa sesekali ketemu Naresh.
Karena ada sedikit hal yang kakak tinggalkan di Naresh.

Sesekali aja, ya.
Kalau kamu kangen.

Bahagia selalu, Yuna.
Kakak pulang dulu.

Isak tangis Yuna membuncah kala kembali sadar bahwa ternyata Yere sudah pergi. Kakak kembarnya pergi dan tidak akan pernah kembali. Kakak kembarnya rela mati demi menebus kesalahan yang ia perbuat.

"Kakak ... hiks ... hiks ...."

Yuna memeluk surat pemberian Yere. Berharap surat itu bisa meredakan rasa sakit di hatinya.

"Maaf ... hiks ... maafin Yuna," isak Yuna.

Mengucap maaf pun sebenarnya percuma karena Yere tidak akan kembali. Kata maafnya juga tak akan mengubah kenyataan tentang betapa buruk sikapnya pada Yere selama ini.

"Nggak ... hiks ... a-aku yang jahat ... bu-bukan kakak ...."

Bibir Yuna tergigit kuat guna melampiaskan kesedihannya. Terlebih saat mengingat betapa dulu Yere suka saat ia panggil kakak.

"Pokoknya gue kakak lo adek."

"Nggak, ya!"

"Gue kakak. Titik!"

"Dih! Pengin banget dipanggil kakak."

"Iyalah. Kan lahirnya duluan gue."

"Cuma beda 5 menit doang."

"Nggak peduli!"

"Kak ... Kak Yere ...."

Sekarang berapa puluh kalipun Yuna memanggilnya kakak, Yere tetap tak akan datang. Yere tidak akan tersenyum bangga sambil menepuk-nepuk pucuk kepalanya. Sebab, Yere sudah pergi.

Possesive PlayboyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon