Bab 36

55.7K 4.2K 80
                                    


Detak jarum jam terus bertalu. Selama beberapa saat menjadi satu-satunya suara yang mengisi ruangan bernuansa minimalis yang hanya dihuni oleh satu sosok manusia itu.

Detik berganti menit. Menit berganti jam hingga tak terasa sudah hampir 3 jam cowok berkaus abu-abu itu duduk tenang di atas sofa. Sebelah kakinya dinaikkan dan kedua tangannya sibuk berkutat pada benda yang ada di genggamannya.

Sesekali, helaan napas ikut menyaingi detak jarum jam. Hela napas yang mengisyaratkan lelah juga sedikit frustrasi.

"Sshhh ...."

Desisan pelan juga ikut ambil bagian. Diiringi raut wajahnya yang tampak menahan kesal akibat denyut nyeri yang menyerang jemarinya. Sebab, tertusuk oleh ujung jarum.

Dalam sekali sentak benda berbentuk bulat dengan kain di tengahnya itu nyaris ia lempar ke arah jendela. Tetapi, tak benar-benar terjadi setelah otaknya berteriak, menginterupsi bahwa benda itu amatlah penting.

"Sabar ... lo harus sabar, Nareshta ...."

Sembari menarik napas panjang ia pun kembali mematut atensi pada kain dan jarum sulamnya. Motif bunga Daisy samar-samar sudah terbentuk di sana.

Sejujurnya, kegiatan menyulam sangat bertolak belakang dengan kepribadian Naresh. Menyulam hanya cocok untuk orang-orang yang punya tingkat kesabaran dan ketelatenan yang tinggi. Sementara Naresh sejak saat mulai memegang alat-alat sulam sudah tak terhitung berapa puluh kali ia mengumpat, menghela napas, dan meyakinkan dirinya sendiri kalau yang tengah ia lakukan merupakan hal yang benar.

"Demi Kara, Resh ...."

Lagi-lagi Naresh bergumam. Berusaha menjaga agar tekadnya untuk menyelesaikan sulaman tersebut tetap pada tingkat yang sama.
Akan sangat menyebalkan jika sulamannya gagal. Padahal, nantinya sapu tangan yang ia beri motif bunga Daisy itu akan jadi senjata untuknya meminta maaf pada Kara.

Gerakan tangan Naresh tiba-tiba terhenti. Arah pandangnya masih tertuju pada jarum serta kain sulamnya. Namun, sorot matanya sedikit berbeda. Ada sepercik rindu yang terbias di sana. Lalu, diikuti ukiran senyum yang tampak sendu.

"Nggak gitu, Resh! Ish!!"

"Nggak gitu gimana, sih? Ini udah pas, Ra!"

"Nggak! Lo mau bikin motif apa, sih? Ini motif apa?"

"Bebek?"

"Hah? Bebek? Kek gini lo bilang bebek? Sejak kapan bebek ada tanduknya?"

"Oh, iya! Bebek nggak punya tanduk, ya."

"Ck! Tau ah! Lo nyulam sendiri aja sana!!"

Kala itu masih sangat Naresh ingat. Hari di mana hujan sedang turun cukup deras. Hari di mana ia dan Kara melewatkan waktu dengan mencoba menyulam pada kain bekas yang Kara temukan di rumahnya.

Rasanya seperti baru kemarin semua itu terjadi. Tapi, nyatanya sudah 2 tahun berlalu.

"Waktu berlalu dengan cepat, Ra. Tapi, gue masih belum berubah. Gue selalu jadi orang yang bikin lo sakit."

Ada kalanya Naresh merasa bahwa ia perlu berhenti terlibat dalam kehidupan Kara. Tapi, saat akan melakukannya bayang-bayang kesepian yang menyedihkan selalu mencegahnya. Lantas, pada akhirnya ia tetap di tempat yang sama. Ia tetap jadi belenggu yang menahan Kara untuk melangkah sedikit lebih jauh agar bisa melihat indahnya dunia. Tanpa ada dirinya tentu saja.

Getir.

Bagi Naresh ditinggalkan sendirian itu rasanya amat getir. Bagi Naresh ditinggalkan itu sangat mengerikan. Sebab itulah, ia selalu berusaha menahan Kara agar tetap di sampingnya. Walau pada akhirnya sekarang Kara tak lagi mampu ia gapai.

Possesive PlayboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang