Bab 76

28.7K 2.8K 214
                                    


Seorang pria usia sekitar 40-an tahun tampak berdiri di depan ruang operasi. Wajah pria itu terlihat pucat pasi. Kedua netranya juga memerah seperti habis menangis.

"Yere ... kamu harus kuat. Kamu harus selamat. Kamu ... kamu nggak boleh ninggalin Papa."

Rupanya pria itu adalah Papa Yere. Satu-satunya figur orang tua dari anak laki-laki yang kini tengah berada di antara hidup dan mati setelah kecelakaan tunggal yang dialaminya.

Setelah lebih dari 3 bulan tak saling bertemu, kini mereka dipaksa bertemu dengan kondisi Yere yang sangat memprihatinkan.

"Om Arlan?"

Arlan, Papa Yere menoleh ke sumber suara. Ia melihat Rengga yang menghampirinya.

"Ka-kamu temannya Yere?" tanya Arlan.

"Iya, Om. Saya Rengga teman sekelasnya Yere," jawab Rengga.

Tadi saat tiba di rumah sakit dan kebingungan mencari Yere, Rengga adalah orang yang membantunya. Cowok itu juga yang dihubungi pihak rumah sakit karena riwayat panggilan terakhir yang tercantum di ponsel Yere adalah panggilan dengannya.

Rengga menuntun Arlan agar duduk di kursi yang tersedia. Ia juga ikut duduk di samping Arlan.

"Kalian pasti sangat dekat," ujar Arlan.

"Iya, Om. Makanya saya tahu kalo Yere adalah orang yang baik. Dia juga kakak yang ba--"

"Kamu tau soal kembarannya juga?"

Arlan terlihat cukup terkejut ketika mendengar pernyataan Rengga. Sepertinya, ia tidak menyangka kalau Yere akan punya keberanian sebesar itu untuk mengakui Yuna sebagai adik kembarnya. Bahkan, ia yang seorang Papa justru bersikap begitu pengecut.

"Iya, Om. Yere cerita soal Yuna ke saya," jawab Rengga.

Arlan tidak lagi bicara. Bibirnya mendadak terkunci rapat. Entah hal apa yang kini ia pikirkan atau mungkin sesalkan. Mungkin juga Arlan malu pada Yere karena sikapnya yang begitu pengecut.

Rengga pun ikut diam. Namun, dalam hatinya ia terus merapalkan do'a untuk keselamatan Yere.

Lo harus bertahan, Yer. Batin Rengga.

Rengga bahkan masih ingat bagaimana kondisi Yere sebelum akhirnya masuk ruang operasi. Cowok yang biasanya rusuh dan kocak itu tampak tidak berdaya. Kedua matanya terpejam dan tubuhnya dipenuhi alat-alat medis. Tubuh bagian atasnya dihiasi noda merah pekat yang begitu banyak. Merah pekat yang berasal dari benturan di kepalanya.

Saat sibuk melamun, tiba-tiba Rengga menyadari gerakan tergesa dari Arlan. Pria itu sudah berdiri dan ternyata sedang menghampiri dokter yang baru keluar dari ruang operasi.

"Bapak wali pasien?" tanya dokter bernama Reynand itu.

"Iya. Saya Arlan. Saya Papanya Yere," jawab Arlan.

Raut wajah dokter Reynand tidak tampak baik. Raut wajah penuh kesedihan yang membuat perasaan Arlan kian kacau.

"Pak Arlan, mari ke ruangan saya. Ada hal penting yang perlu Anda ketahui mengenai putra Anda."

Dengan begitu, Arlan pun mengikuti dokter Reynand. Ia meninggalkan Rengga yang termangu dan mulai bertarung dengan berbagai pikiran buruk yang menyerbu kepalanya.

"Lo baik-baik aja, kan, Yer? Lo pasti selamat. Iya, kan?"

Rengga bertanya pun menuturkan kecemasannya entah pada siapa.

***


Entah sudah berapa banyak air mata yang Kara keluarkan sejak saat tiba di rumah sakit. Yang pasti sebanyak apapun air matanya tumpah tetap tak akan mampu mengurangi kesedihannya. Tetap tak akan mampu menyembuhkan hatinya yang terlanjur hancur ketika mendengar himbauan dokter Nevan untuk memindahkan Naresh ke ruang ICU. Sebab, kondisi cowok itu semakin parah.

Possesive PlayboyOnde histórias criam vida. Descubra agora