Meluruskan Pelangimu

416 53 0
                                    

Kau terduduk mengecat pelangi di lambung perahumu dengan kuas kecil. Semua lapisnya kamu warnai hijau. Seperti semua palawija di kebunmu, kursi, tirai, dan juga motor suamimu.

Seharusnya seorang ibu bisa lebih berwarna daripada hijau. Lagipula masih ada merah dan biru menunggu untuk Ibu sukai. Seperti rona petang dan pagi yang menidurkanku di akhir pekan.

Kulihat kau bersedih dalam kepungan bercak hijau toska. Rupanya kau salah beli cat. Kau mimpikan hijau lumut dan segala kenyamanan di dalamnya. Kau mau rumah kita jadi bubuk matcha yang menunggu disiram.

Aku terlalu sibuk tertawa, Ibu. Aku terbawa suasana saat kau ubah toko bangunan menjadi panggung debat kemarin siang. Rasanya salah kalau aku menghentikanmu.

Sama bersalahnya dengan hijau sepi yang kau ajarkan. Marahku hanya satu warna. Diam, tenang, dan mudah ditipu. Aku lelah menunggu sihir hijau lumut bekerja. Tidak ada kenyamanan kecuali rasa kecil hati di dalamnya.

Pelangi ibu seharusnya tidak digambar melengkung. Ia lebih cocok lurus dengan ujung yang hampir membulat. Sama seperti kelembutanmu di ujung setiap debat.

Kau bersemangat menuduhku mencuri ide aneka-hijau yang kautemukan sejak mula dunia dicipta. Aku rindu hijau Ibu, tapi hijau Ibu sudah jadi abu di tengah kebun palawija kampung kita. Hitam di kota menarikku jauh dari situ.

Kini tirai, kursi, dan motor suamimu sudah diganti. Tak ada lagi hijau dalam rumah kita, dan sihir nyaman yang kau bawa bersama lengkung senyummu telah jadi lurus.

MENJERAT BELALANG PERUSAKWhere stories live. Discover now