Kunikahi desa sampai beranak dusun-dusun. Dusun yang menyembah batu baterai sebagai batu bertuah adalah yang paling kusayangi.
Dusun itu jenuh dengan nasi, jari-jarinya mau juga menggenggam roti isi dari siaran malam di televisi.
Kugadaikan hidupku dan kubelikan roti isi. Dusun makan dengan lahap. Lalu dininabobokan oleh pemikiran modern yang baru saja dianutnya:
Ketamakan yang maha resah.
Dusun bertemu satu kota dan jatuh cinta. Tubuhnya rapat pada kota, dan kota menggerayanginya. Membuatnya tuli dan kadang terlalu banyak bicara. Dusun minta banyak sekali hal, termasuk mobil balap yang ditunggangi ke minimarket untuk beli pohon pengisap darah yang bersayap.
Dusun, anak yang kusayangi, kini mulai dewasa. Mengamalkan kemanusiaan yang labil dan biadab di tumpukan tubuh-tubuh kota yang baru saja mendirikan persatuan.
Sebuah praktik kebangsatan yang dipingpong dalam nikmat kebejatan dalam kemunafikan dan ketagihan, mengintai dari tiap helai rambut berminyak milik kota. Kunjungan berikutnya, kota menenteng kedagingan antisosial sebagai buah tangan manis bagi seluruh anak-anak desa.
Kubelai mayat anak pertamaku di bukit, ia dusun yang paling kusayangi. Ia pergi dalam pelukan kota penuh lendir panas dan berbau. Batu nisan adalah batu bertuah terakhirnya.
Aku siap menginjak agama-agama kota, agar dusun-dusunku tidak tercemar lagi. Akan kurobek tuhan mereka dan menghamburnya di halaman belakang rumah musuhku.
YOU ARE READING
MENJERAT BELALANG PERUSAK
PoetrySebuah eksperimen setelah membaca karya dari salah satu pustakawan Kata Kerja. Sekitar 40an puisi di sini sudah terbit dengan judul Tugas Puisi Untuk Manusia, sebagai kolaborasi bersama penulis hebat @nellaneva dan diterbitkan oleh Langgam Pustaka...