Merencanakan Kematian Kedua

215 32 0
                                    

Akhir-akhir ini aku mengakrabi bayangan di cermin dan percaya pada puisi omong kosongnya. Ia begitu tampan tapi ternyata takut pada kamera orang lain. Ia berubah lebih jelek, tapi akulah yang terus dihina.

Menggerutu. Menari. Menghukum diri. Menonton film rating-B sepanjang hari. Ketika pagi datang, pagi terlihat lelah dan mengajakku tidur kembali.

Di pelat bundar arloji aku sudah terlalu terlambat untuk menunggu. Arloji meminta maaf dan menyuruhku merencanakan kematian kedua di pantai Makassar sambil membuat istana pasir yang kemudian kutendang sendiri. Jumat makin penat dengan ratap, dan manusia lupa bangun dari ketakutannya. Pasirku berteriak dan menyuruhku pulang pada ibu.

Menggoreng ubi bersama arwah ibu yang terus berdansa pada lagu kematian yang menyenangkan. Minyak bekas kusiramkan ke produk-produk sisa senyuman setelah menceritakan mimpiku yang aneh pada ibu yang sibuk mengunyah dan berdansa. Ilusi tergoreng, dan orang-orang asing berkumpul di beranda hatiku menitip salam pada kecantikan ibuku yang sedang tertawa.

Aku menunggu musik pemicu kelana terdengar. Namun, dentum bas dan denting gitar Diego justru kembali ingatkan jari-jari bayangan cerminku yang membelai dirinya sendiri, hanya dirinya sendiri. Ia malas keluar dari cermin dan takut jika kelana menghitamkan kulitnya. Ia benci karena aku punya ibu kekal sementara ia selamanya menyusu pada dirinya sendiri.

MENJERAT BELALANG PERUSAKWhere stories live. Discover now