Satu hujan reda dan memberiku jeda. Dalam terik sinar matahari ibu memberiku sebuah pelajaran.
Bahwa awan juga punya masa depan, bahkan yang bentuknya tak karuan sekalipun. Ia kelak bisa jadi penyegar dalam lehermu atau pengangkut dalam pembuluh utama tanaman kebunmu. Atau bisa jadi air matamu kelak jika seseorang menolakmu.
Awan itupun telah menjelma menjadi sebagian besar dirimu yang kelak menguap dibakar waktu. Atau menjadi sebagian besar dirinya yang kelak mengantuk mendengarkanmu lalu mencari kisah yang baru.
Tongkat-tongkat kecil yang ibu siksa dan tubuh kecilku yang ketagihan menerima. Seirama dan berdansa bersama-sama. Aku jadi gelap, sesal ibu gemerlap.
Ibu menumpah air mata, kesal tak sanggup menghapus namaku dari buku kehidupannya. Ia masih percaya pada masa depan awan jelek sepertiku dan terus memberiku pelajaran.
Kau mungkin pernah kecewa padanya, tapi kata ibuku aku bisa jadi awan yang baik untukmu.
YOU ARE READING
MENJERAT BELALANG PERUSAK
PoetrySebuah eksperimen setelah membaca karya dari salah satu pustakawan Kata Kerja. Sekitar 40an puisi di sini sudah terbit dengan judul Tugas Puisi Untuk Manusia, sebagai kolaborasi bersama penulis hebat @nellaneva dan diterbitkan oleh Langgam Pustaka...