Ch3 - Siapa?

229 37 22
                                    

Happy Reading ^_^

"Devan?"

Sang empu memutar tubuhnya untuk melihat kedatangan seorang gadis yang membuat pikirannya tidak fokus seharian ini.

"Hai," sapa Devan sembari tersenyum manis membuat siapapun yang melihatnya langsung terpikat.

"Kamu ngapain ke sini? Kamu nggak capek habis pulang sekolah langsung ke rumah aku?" tanya sang gadis.

"Nggak papa, Dys, aku cuma pengen liat kamu aja."

Gladys hanya menganggukkan kepalanya seakan paham dengan perkataan Devan. Padahal di dalam hatinya Gladys bertanya-tanya kenapa Devan bisa ada di rumahnya. Biasanya Devan akan berkunjung ke rumahnya pada malam hari setelah Devan beristirahat sejenak. Tapi kini, entahlah, Gladys mencoba berpikir positif.

Saat Gladys asyik dengan pikirannya, Devan memandang Gladys dengan tatapan yang sulit diartikan. Gladys, gadis yang manis, lembut, baik, dan selalu mengerti Devan. Devan pun merasa beruntung memiliki teman sepertinya.

"Kamu ke sini bukan karena kamu kepikiran omongan aku tadi malem kan, Dev?" Gladys berkata tiba-tiba dengan tatapan mengintimidasi.

Devan hanya memandang tepat ke arah bola mata Gladys. Sial, sepertinya segala tingkah Devan, Gladys selalu mengetahuinya bahkan sekuat apapun Devan berusaha menutupinya.

Lelaki dengan hoodie hitam itu hanya menghembuskan napasnya ketika ia ingat perkataan Gladys yang membuatnya tidak fokus untuk melakukan apapun, termasuk kegiatan rutinnya mengganggu Shakira.

"Kalo kamu udah punya perempuan yang lebih ngertiin kamu dibanding aku bilang ya, Dev. Jangan tiba-tiba hilang nggak ada kabar, jadi aku bisa persiapin diri aku. Kamu tau kan, aku butuh kamu?"

Kira-kira seperti itu kalimat yang diucapkan Gladys. Memang sederhana, tetapi yang membuat Devan masih memikirkannya sampai sekarang adalah, selama berteman dengan Gladys, gadis itu tidak pernah mengatakan kalimat penuh permohonan seperti itu. Seperti memiliki maksud tersendiri.

"Enggak, Dys, emangnya nggak boleh kalo aku ke sini setiap waktu? Lagian kamu juga cuma di rumah sama mbak," balasnya "lagian kenapa kamu nggak sekolah formal aja sih, Dys? Kan lebih seru gitu daripada nungguin guru dateng ke rumah," ucap Devan.

Perkataan Devan seketika membuat Gladys tegang, tangannya mengepal di atas paha, dan bola matanya bergerak tak tentu arah menghindari sepasang mata yang kini tengah menatapnya. Namun, seorang Devan tidak menyadari perubahan pada Gladys, hal itu membuat Gladys sedikit lega.

"Ya karena aku emang pengen homeschooling aja, Dev," jawab Gladys sambil menetralkan detak jantungnya.

Devan sebenarnya merasa tidak puas dengan jawaban yang diberikan Gladys. Dia merasa aneh ketika seharusnya remaja seusianya merasa senang ketika memasuki Sekolah Menengah Atas dan memperjuangkan apa itu cinta, seperti yang Devan lakukan pada Shakira. Tetapi, kembali lagi pada Gladys, dia tidak ingin masuk sekolah formal dengan alasan klasik 'ya karena aku males mikir berat' seperti itulah jawaban Gladys saat dua tahun lalu Devan bertanya kepadanya.

"Iya aku ngerti, tapi kalo kamu bisa satu sekolah sama aku, aku kan bisa ngawasin kamu gitu setiap saat," balas Devan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Haha kamu tuh apaan sih, Dev. Nanti kalo kamu sama aku terus kamu jadi susah dapet pacar loh," Gladys tertawa dengan telapak tangan menutup mulutnya. Anggun sekali gadis ini, pikir Devan. Berbeda dengan Shakira saat bersamanya. Ck, kenapa ia jadi membandingkan keduanya. Shakira dan Gladys adalah gadis yang berbeda, itu sudah pasti.

Selama dua jam, Gladys dan Devan menghabiskan waktu dengan bermain PlayStation yang terletak di ruang tengah. Keduanya memang sering seperti ini, apalagi jika kedua orang tua Gladys berada di luar negeri atau luar kota, Devan akan semakin sering mengunjunginya hanya untuk sekedar memastikan keadaan Gladys baik-baik saja.

"Dys, aku pulang dulu ya," pamit Devan.

"Sekarang? Ya udah nggak papa, kamu hati- hati ya bawa motornya. Jangan ngebut, kalo kamu tiba-tiba ngebut, kamu inget aku aja yang ngelarang kamu buat ngebut." Gladys mengantarkan Devan ke depan pintu rumah.

"Iya, makasih ya," balas Devan seadanya.

Setelah Devan menghidupkan motornya, ia segera meninggalkan pekarangan rumah mewah tersebut. Meninggalkan Gladys yang tersenyum bahagia.

***

Duk!

"Aduh! Dek, apa-apaan sih kamu tuh."

Teriak kakak laki-laki Shakira. Arkana Keenan Abrisam, namanya memang sebagus perilakunya. Dia baik, pengertian, dan penyayang, poin plus nya dia juga tampan, ya mungkin setara dengan Devan, sayangnya sifat Arkan dan Devan berbeda jauh. Arkan sekarang kelas 12, dia juga bersekolah di Alexis, memang Shakira dan kakaknya hanya selisih satu tahun.

"Ck, Kakak ngapain di situ sih? Nggak ngerti orang lagi kesel apa," balas Shakira.

"Kenapa lagi sih, Dek? Kalo kesel nggak perlu lempar tas juga, kasian ini jidat Kakak."

"Ya lagian, siapa suruh Kakak di situ," balas Shakira tak mau kalah.

Arkan hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Shakira. Dia tidak akan bisa marah pada adik satu-satunya itu.

Arkan memang lelaki sempurna secara fisik maupun sikap. Banyak perempuan yang ingin menjadi pacarnya, tetapi hati seorang Arkana sudah tertutup untuk semua orang, kecuali satu untuk gadis yang saat ini masih menempati posisi tertinggi di hatinya.

"Kamu masih sering mikirin dia, Dek?" tanya Arkan.

Di sisi lain, Shakira membatu mendengar pertanyaan yang Arkan lontarkan untuknya. Dia tahu, bahkan sangat tahu siapa yang dimaksud oleh kakaknya itu. Shakira merasa sangat sensitif terhadap apapun yang menyangkut orang itu, dan Arkan sangat paham jika Shakira memang masih mengharapkan seseorang itu.

Merasa atmosfer di sekitarnya berubah, Arkan sesegera mungkin mengubah topik pembicaraan mereka. Mana mungkin dia tega melihat adik kesayangannya itu sedih saat mengingat seseorang yang sangat spesial di hati adiknya itu.

"Dek, mandi sama ganti baju dulu ya. Mama sama papa satu jam lagi sampe di bandara, kamu nggak mau ikut jemput emang?" tangan halus Arkan mengelus surai hitam adiknya dengan penuh perhatian.

Shakira mendongak melihat wajah Arkan, memastikan bahwa kakaknya itu tidak berbohong. Tidak, kakaknya tidak pernah membohonginya sekalipun. Setelah menganggukkan kepalanya pelan, Shakira berdiri dan mulai beranjak menaiki tangga untuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Rupanya kejadian di kantin Alexis tadi siang benar-benar membuat mood seorang Shakira memburuk bahkan hingga ia sampai rumah. Sepulang sekolah tadi, Shakira pergi bersama Syifa untuk mencari novel karena Agas pun benar-benar tidak mau menemani Shakira. Alhasil, pilihan terakhir ia mengajak Syifa.

Saat Shakira menghilang di balik tangga, Arkan memandang langit-langit rumah dengan tatapan sendu.

"Lo tuh sebenernya kemana sih. Cepet balik, kasian adek gue," gumam Arkan bahkan suaranya nyaris tidak terdengar.

***

Haii, kembali lagi di "Simpangan Rasa."

Gimana menurut kalian?

Penasaran nggak sama orang yang dimaksud Arkan?

Stay baca cerita aku ya.

Terimakasih juga buat kalian yang udah menyempatkan waktu buat baca "Simpangan Rasa." Semoga kalian selalu bahagia :)

Jangan lupa pencet 'bintang' di pojok kiri bawah yaa. Vote dan comment dari kalian berarti banget buat aku.

Sampai bertemu di chapter selanjutnya...

Simpangan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang