END
"Ternyata gue emang nggak bisa menang dari si cowok kampung itu ya."
"Bahkan kalo dibandingin dari segi apapun, dia seribu kali lebih baik daripada lo."
"Udahlah Sha, gue tuh nggak butuh bantuan lo, mending lo pergi jauh-jauh dari gue, enek gue...
"Iya udah sana, kamu bau," Gladys mendorong pundak Devan.
"Yang penting kamu sayang," Devan segera berlari menuju kamarnya setelah ia mengucapkan kalimat tersebut.
Gladys membulatkan matanya, jelas saja ia terkejut saat mendengar perkataan Devan.
"DEVAN!" teriak Gladys kesal, ia bisa mendengar jika Devan tengah tertawa di lantai atas.
Selepas kepergian Devan, Gladys hanya termenung di ruang tengah. Pikirannya berkelana entah kemana, ia kembali mengingat bagaimana kali pertama ia bertemu dengan Devan dan menjadi teman baik sampai sekarang.
Gladys mengingatnya dengan sangat baik, saat mereka masih menggunakan seragam putih merah waktu itu. Saat itu, Gladys kecil hanya memandang ke seberang jalan dengan pandangan sedih, tanpa disadari seorang laki-laki seumurannya tengah memperhatikan Gladys dengan raut bingung. Anak laki-laki itu mendekati Gladys, dan Gladys menjelaskan jika ia ingin membeli es krim, tetapi ia lupa tidak membawa uang. Jelas saja akibat perkatannya, Devan kecil tertawa dengan sangat kencang dan itu sangat menyebalkan bagi Gladys. Tapi tak berselang lama, Devan kecil menyebrangi jalan raya yang masih sangat ramai, kemudian membelikan Gladys es krim seperti yang diinginkan oleh gadis itu. Sejak saat itu, Devan dan dirinya berjanji jika mereka akan menjadi teman selamanya. Ya, teman. Tidak lebih. Gladys sadar itu.