Di Atas Aspal Keras

693 54 7
                                    

Mendung langit menyelimuti malam ini, disisipi oleh asap rokok yang sedari tadi berlalu lalang di depannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mendung langit menyelimuti malam ini, disisipi oleh asap rokok yang sedari tadi berlalu lalang di depannya. Diiringi oleh musik Sheila on 7 oleh pengamen jalanan yang lewat yang sengaja dibayar untuk menyanyikan beberapa buah lagu untuk menemani malam dalam tongkrongan kali ini. Keramaian jalanan seakan hanya sebuah fana yang tidak ada artinya.

Alun-alun Kota Semarang menjadi saksi bisu bahwa tiga minggu ini dia menjadi lebih sering mengunjunginya. Dari pagi siang sore hingga malam, tempat itu menjadi satu satunya tempat pelariannya.

Ramai, bahkan tempat itu jauh lebih ramai daripada Tong kosong. Tetapi dia selalu merasa kesepian. Raganya memang disana, menikmati kopi bersama teman-teman barunya tetapi jiwanya masih di teman-teman lamanya.

Algar masih diam, menikmati rokoknya sambil mendengarkan celotehan teman-temannya yang membahas tragedi Ari beberapa Minggu yang lalu. Tragedi itu sempat menggemparkan sekolahan hingga mereka diliburkan satu hari setelah kejadian itu.

"Shutt! Jangan ngomongin Almarhum mulu ngapa? Gue jadi merinding tau gak?" Gilang tampak bergidik ngeri saat mengingat kejadian waktu itu.

"Hahaha takut lo?"

"Lo gak denger isu dari si Fajar basis sebelah yang katanya waktu itu nongkrong di TPU malem malem dia ngelihat Almarhum gentayangan?" tanya Gilang.

"Gue denger kali, makannya gue bahas ini supaya nanti pada kaga bisa tidur di rumah hahahaha, " balas Ravael sambil tertawa.

"Sialan lo!"

"Oh iya, ngomong-ngomong keadaan Baron gimana tuh? Gue belum sempet kesana," tanya Algar.

"Masih kritis, lo kan ngelihat sendiri tuh waktu itu dia mental ampe jauh, " balas Gilang.

"Kasian ya, kagak tega gue ngelihatnya," sahut Ilham.

"Lagian Ari nya juga sih yang salah, pake nantangin anak Stembar segala. " Arga tampak menyudutkan Almarhum.

"Bukannya dari dulu dia emang gitu ya? Sejak jabatannya jadi pentolan dia jadi tengil gini, " lanjut Ilham ikut mengompori.

"Udah-udah, Almarhum udah tenang disana, ngomongin yang baik-baik aja!" Gilang mulai memperbaiki suasana.

Mereka semua mengangguk setuju, mereka menyudahi cerita tentang kejadian itu beralih menjadi yang cerita random, seputar dunia sekolahan, mahasiswa, DPR, sampai ke cerita cerita gak jelas yang sangat di luar nalar. Seperti menanyakan hal konyol tentang dimana letak aurat Squidward misalnya.

Dan Algar sangat menikmatinya. Cerita yang sama tetapi dengan orang yang berbeda.

•••

Lampu-lampu menerangi perjalanan pulangnya sekitar pukul 21.40 malam. Jalanan masih sedikit ramai, tetapi tidak seramai tadi. Hanya ada suara bisingan kendaraan dan suara klakson yang berbunyi saat lampu lalu lintas hijau menyala.

Algar sedikit penasaran ketika beberapa kali ia tak sengaja melirik kaca spion motor milik Gilang, ada sesuatu yang mengganjal.

"Lang, apa perasaan gue doang kalo orang-orang yang ada di belakang ngikutin kita?" tanya Algar mulai sedikit merasa khawatir.

"Gak tuh, mereka biasa aja. Kalo mereka ngikutin kenapa gak langsung nyamperin aja, jalanan kan sepi," balas Gilang.

"Lo kenal gak sama mereka?"

Gilang menggeleng. "Mereka pake helm njeng, mana gue tau mereka siapa. "

"Iya juga ya."

"Cepetan dikit Lang! Perasaan gue gak enak deh. "

Gilang melajukan motornya lebih cepat, berusaha membenarkan pikirannya kalo itu cuman perasaannya saja. Tetapi ternyata hal itu benar, mereka tidak mengejar lagi karena para remaja di belakangnya tadi berbelok arah ke sebuah gang.

Gilang menghela nafasnya lega. "Tuh kan, apa gue bilang, mereka gak ngikutin kita. Itu cuman perasaan lo aja."

Algar juga sama, bernafas lega tetapi perasaan khawatirnya masih sedikit ada. Gimana kalo seandainya remaja tadi hanya mengecohnya? Bagaimana kalo Gilang dicegat saat sedang sendiri nanti?

Setelah sampai di Rajatan, dia turun dari motor Gilang. "Thanks Lang, lo mau disini dulu? Gue takut ada apa-apa sama lo nanti di jalan. "

"Halah. Perasaan gak bener lo itu mending diilangin dulu deh. Gue gak kenapa kenapa.

"Kalo mereka berani munculin muka nya di depan muka gue, gue jabanin mereka pulang-pulang bakalan tinggal nama."

"Hahaha iya deh. Hati-hati lo. "

"Yoi. Tinggal dulu ya bro!"

Gilang menjalankan motornya pergi dari hadapannya. Dia menunggu pria itu benar-benar hilang dari pandangannya, kemudian dia bisa masuk dengan tenang.
Dia membalikkan badannya ingin masuk ke dalam Gang Kampungnya. Tetapi tiba-tiba saja suara kerumunan motor terdengar, semakin lama semakin mendekat. Hal itu menarik pendengarannya sampai membuatnya menoleh dengan penasaran.

Mereka berjumlah lebih dari lima orang turun dari motornya berlari ke arahnya.

"Bangsat lo!"

Algar ingin berlari masuk, tetapi pergerakannya kalah cepat dengan orang yang mendorongnya hingga membuatnya terjatuh. Kepalanya terbentur aspal hingga mengukir gores luka baru di jidatnya.

Buagh!

Buagh!

Buagh!

Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, mereka semua mengeroyok Algar dengan beberapa macam pukulan. Persetan dengan kata ampun darinya, mereka semua tidak mau berhenti sampai Algar benar-benar tidak bisa berdiri untuk melawan.

Sakit! Cuman itu yang dia rasakan. Dia terkapar lemah di atas aspal merasakan sakit yang luar biasa. Dia tidak bisa melihat siapa mereka, karena daritadi dia terus menutupi wajahnya menggunakan tangannya.

Sampai akhirnya dia tidak merasakan apa-apa lagi. Matanya benar-benar berat untuk dibuka.

Dia hanya merasakan pendengarannya, yang menangkap suara kegegeran sedang terjadi di sekitarnya. Suara kendaraan yang menjauh. Dan suara yang ia rindukan beberapa Minggu ini.

"Algar. Lo gak papa?"

Tetapi, dia tidak bisa membuka matanya untuk sekedar melihat wajah orang itu. Semuanya tampak gelap, hingga akhirnya telinganya berdengung sangat kencang yang membuatnya kehilangan kesadarannya.

*TBC*

Atas Nama Solidaritas ( TAHAP REVISI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang