Peran Yang Hilang

629 48 8
                                    

Hari ini adalah hari dimana sekolahnya mengadakan ujian tulis. Yang dimana siswa-siswi harus membayar kartu tes untuk bisa mengikuti ujian itu. Dia belum membayarnya. Dia sama sekali tidak kepikiran kalo uang balapannya akan habis untuk membayar makan di kafe itu doang.

Sebenarnya ini adalah tanggungan orang tua untuk membayar semua kebutuhan sekolahnya. Namun, apa yang dilakukan oleh ibunya sampai saat ini? Wanita itu tidak pulang dari kemarin. Seakan tidak mau tau dengan urusan sekolah anaknya.
SPP bulan kemarin saja belum dibayar, mana bisa dia ikut tes?

Algar menghembuskan nafasnya saat jam menunjukkan pukul enam pagi. Masuk sekolah pun dia akan sia-sia, karena pasti dia tidak akan diperbolehkan masuk ke kelas.

Mau meratapi nasib pun sepertinya enggan karena sudah malas karena terus menerus dirundung oleh kelaparan. Ibunya sama sekali tidak pernah membuatkan makan atau sekedar memberinya uang jajan untuk makan. Dia hanya diberi saku lalu ditinggal pergi. Difikiran nya mungkin uang segitu cukup untuk makan dan naik angkot. Padahal untuk naik angkot saja kurang.

Algar melirik foto bingkai yang dipajang di mejanya. Dia mengambilnya, menggenggamnya dengan kuat.

"KALO GINI CARANYA, MENDINGAN NGGAK USAH PUNYA IBU SEKALIAN!"
teriaknya sambil melempar foto itu sampai pecah.

Bagaimana tidak emosi? Wajarnya seorang ibu memberikan perhatian khusus pada anaknya apalagi anaknya cuman satu seperti Algar. Ya tidak usah lebih-lebih lah cukup buatkan Algar sarapan pagi. Hanya itu yang Algar mau sehingga ia tak harus kelaparan lagi saat berangkat sekolah. Apa susahnya sih buat sarapan buat anak?

Dia merasa iri dengan Zidan, tetangga sebelahnya yang tidak memiliki ibu. Ia hanya memiliki bapak seorang pemabuk tapi apakah dia kelaparan seperti Algar? Tidak. Bahkan dia selalu menawarkan makanannya yang utuh tak termakan ke Algar. Bapaknya sangat memperhatikan anaknya tidak seperti ibu yang notabenya sebagai ibu rumah tangga. Ibunya tak memikirkannya sama sekali.

Untuk sekedar menanyakan kondisi anaknya misalnya. Bahkan waktu di mana dia dirawat di rumah sakit, ibunya tidak pernah menjenguknya. Teman-temannya sempat membujuk ibunya untuk datang, hanya untuk sekedar melihat apakah anaknya baik-baik saja. Nyatanya jawaban ibunya yang malah membuatnya semakin sakit.

"Biar saja, biar kapok." Omongan seorang wanita yang melahirkannya itu masih tersimpan di memori Algar saat Adel mencoba mengabarinya lewat telepon. Sakit sekali. Lebih sakit dari hujaman senjata yang dia terima di seluruh badannya waktu itu.

Dia tau, dia memang salah. Dia sudah terlanjur masuk ke dalam lubang api. Sudah tidak ada jalan keluar lagi. Dia hanya butuh suport system dari orang tua. Suport yang tidak pernah ia rasakan sejak dulu. Namun, siapa yang peduli dengan itu? Rasanya mati kelaparan pun tidak ada yang peduli selain teman-temannya.

Algar memutuskan untuk ke sekolah saja. Di rumah membuatnya semakin muak. Walaupun dia sudah yakin tidak akan diterima disana karena belum membayar uang tes. Tapi mungkin dengan itu dia bisa membantu menetralkan pikirannya kembali karena sempat emosi tadi karena bertemu dengan teman-temannya di sekolah.

"Woi Gar!"

Algar menoleh ke belakang, menatap Ridho yang tengah melambaikan tangan ke arahnya. Di sampingnya juga ada Heru, Ardi, Bima dan Rasyid, teman-teman sekolahnya yang mungkin bisa dibilang satu geng jamet yang selalu bersamanya.

"Lo beneran gak ikut tes Gar?" tanya Heru yang membuat Algar mengangguk.

"Iya, belum bayar uang tes gue. Paling susulan nanti kalo udah punya duit. Kalo lo mau minjemin gua sih boleh banget
Ru, " jawabnya sambil bercanda.

"Duit darimane kocak. Gua aja juga belum bayar."

"Lah bukannya kata lo udah dikasih duit kemarin?" tanya Algar bingung.

"Hehe. Udah abis Gar, buat warnetan. Ya, habisnya gatel banget pengen main. Lagian ini kan tes gak penting-penting amat. Jadi gak usah ikut gapapa kali ya. Sekali-kali gitu pensi jadi anak rajin," balasnya sambil menyengir dengan tampang yang tidak berdosa.

"Emangnya lo pernah rajin Ru?" tanya Bima yang membuat Heru tertawa.

"Rajin apanya? rajin masuk BK kali dia"

"Hahaha kagak pernah absen kali itu mah. Udah kayak artis aja itu daftar BK gara-gara ulah kita," sahut Rasyid.

"Ya seharusnya Bu Rita bersyukur punya anak murid kaya kita, kalo gak ada siswa yang nakal seperti kita ini, guru BK kerja apa." Bima menyeletuk sambil tertawa.

"Sekolah tanpa kasus, tidak ada cerita saat lulus."

"Iya bener tuh."

"Pasti Bu Rita bakalan kangen deh sama kita kalo seandainya nanti kita udah lulus."

"Eh mumpung belum masuk nih. Keluar aja yuk! Males gue kalo harus ditanyain kenapa gak ikut ujian," ucap Ridho.

"Lah lo juga gak ikut tes Do?" tanya Algar ke orang berpawakan tinggi di depannya.

"Semua gak ikut Gar, satu enggak ya enggak semua. Solid namanya," balasnya.

Mungkin bisa dibilang terharu atau apa. Yang jelas Algar dibuat bersyukur sekali. Bersyukur karena Tuhan menghadirkan teman seperti mereka. Ya walaupun akhlak mereka hilang separuh. Tapi gapapa deh masih ada sisa sedikit buat rasa kemanusiaan mereka.

"Nanti kita susulan sama-sama. Tenang aja Gar, si Jesika juga gak berangkat hari ini. Jadi kita masih aman ada orang buat contekan. Tadi si Satria juga udah gua bilangin buat fotoin soalnya jadi aman lah nanti," ucap Ardi yang berhasil membuat mereka semua tersenyum kemenangan.

"Bangsat, licik bener ya lo pada."

"Hahaha, walaupun susulan. Lihat aja deh nanti! Nilai kita pasti yang bakalan tinggi di kelas."

"Ah jangan ngetarain banget lah. Nanti yang ada pada curiga kalo kita nyontek," balas Ridho.

"Gapapa sekali kali jadi top global kelas."

"Jadi kita mau kemana nih?"

"Ceck in?"

"Di warnet maksudnya."

Ibunya selalu menasehati nya untuk berhenti bergaul dengan anak nakal. Tapi nyatanya orang yang paling mengerti keadaannya, yang selalu membantunya adalah anak nakal bukan anak baik-baik seperti yang ibunya mau. Menjadi nakal bukan pilihan seorang anak. Namun kenakalan itu terbit dikala mereka membutuhkan tempat sandaran yang sebenarnya. Ini hanyalah pelarian seorang anak yang sudah kalah untuk menghadapi kerasnya dunia.

Banyak orang tua yang kecewa melihat anaknya tumbuh dewasa dengan kenakalan nya. Tapi mereka tidak tau karena siapa mereka menjadi seperti itu. Ibunya kecewa karena Algar menjadi seperti ini? Lantas apakah Algar juga bisa bilang kalo dia juga kecewa dengannya? Dengan perannya yang sama sekali tidak pernah bisa ia andalkan?

Setiap hari dia harus merasakan kelaparan, tidur yang tidak nyenyak, bangun yang tak nikmat, keluh kesah yang selalu ia pendam, rasa sakit yang selalu ia diamkan. Dan kemudian terbiasa.

Atas Nama Solidaritas ( TAHAP REVISI )Where stories live. Discover now