DUA PULUH TUJUH

20.8K 2K 183
                                    

Btw, thanks ya gais, makasih buat support-nya juga buat kalian yang mau ngoreksi kesalahanku. Membantu sekali.

*

*

*

*

*

Aku dan Rizky baru selesai melayat ke makam Ayah Bunda. Hari masih panas, tapi waktu tetap berjalan dan sudah beranjak sore.

"Makan dulu yuk!" ajakku ke Rizky.

"Boleh" ia menyetujui.

Kami berdua sedang di dalan mobil berjalan. Membelah jalanan sore dengan pemandangan langit senjanya. Semburat oren di langit biru juga cerah yang panas, hari ini. Jalanan mulai ramai karena ini jam-jamnya para pekerja untuk pulang. Beberapa warung makan makin banyak yang buka, makin ramai jalanan terlihat. Beberapa puluh menit kemudian, aku yakin jalanan ini akan menjadi sangat macet sore-sore begini. Aku jadi ingat anakku. Apakah Ken sudah ada di rumah atau anak itu malah main sampai malam sama ketiga temannya. Tadi, aku sempat bertukar kabar dengan Ken sebelum baterai ponselku habis dan sekarang mati. Ia memberitahuku kalau kelasnya masuk final dan ia pulang sore hari bareng dengan Dewa. Ken lebih memilih pulang dengan Dewa ketimbang kami jemput.

Rizky menyalakan radio. Mencari channel yang sedang menyiarkan musik. Membunuh keheningan di dalam mobil. Mengambil alih diriku dari pikiran sendiri.

"Mikirin apa sih, Mbak?" tanya Rizky sambil mendengarkan musik yang mengalun dari radio.

"Nggak, mikirin anak Mbak, udah di rumah apa belum" kataku, menjawab pertanyaan Rizky.

"Telpon aja, sih" suruh Rizky, memberi solusi.

Aku melihatnya sekilas "hp Mbak mati, udahlah, dia juga gak akan kemana-mana tanpa izin" lalu aku kembali fokus ke jalanan.

Rizky tidak melanjutkannya lagi. Dia paham apa maksudku.

Aku jadi teringat pesan Mas Garin yang belum sempat ku balas tadi, karena telepon darinya yang kuabaikan waktu diriku dan Rizky masih ada di area pemakaman. Berharap saja Mas Garin akan bertanya ke Ken dan anak itu bisa mengatakan kalau aku sudah menjemput Rizky. Ada rasa tidak enak di diriku karena mengabaikannya. Tapi gengsi juga kalau harus menelpon terlebih dahulu, apalagi lewat ponsel Rizky. Kan, aku sedang kemusuhan dengan Mas Garin.

Aku menghentikan mobil saat lampu merah menyala di depan sana. Berhenti di belakang beberapa mobil yang sudah berhenti lebih dulu di depan mobilku. Aku mengetuk-ngetuk dashboard mengikuti irama musik yang memenuhi mobilku. Menunggu lampu menjadi hijau.

"Eh, Mbak, makan di angkringan deket kampus Lo, yuk!" ajak Rizky padaku.

Aku menimbangnya cukup sebentar "ayok!" seruku. Berhubung kami sedang berhenti di perempatan menuju sekolahku.

Setelah lampu lalu lintas berubah dari merah menjadi hijau, aku menggas mobil, mengikuti mobil depan yang sudah mulai berjalan. Aku membelokkan mobil ke kanan, ke arah kampusku dulu. Padahal rumah kami jalurnya tinggal lulus. Tidak apa lah, mumpung Rizky pulang. Kapan lagi kami bisa menikmati makan di angringan berdua. Ini moment langka, kalau kata Rizky. Tak apa juga, sekalipun kampusku lebih jauh lagi. Lebih lama lagi kami akan berada di jalanan.

Di jalanan, aku hanya mendengarkan Rizky berbicara. Dia sangat banyak berbicara padahal baru sampai hari ini. Bukan bicara tentang keadaanya hari ini, sekarang. Tapi dia banyak mengoceh tentang masa lalu. Mengingat bagaimana dirinya dulu melewati jalanan ini saat masih duduk di bangku SMA. Berbicara tentang dirinya yang suka kebut-kebutan di jalanan yang sedang kita lewati.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now