EMPAT PULUH DELAPAN

14.2K 1.9K 250
                                    

Pakabs?

*

*

*

*

*

"Nanti pulang sekolah mau nganter Dewa ke stasiun dulu, baru pulang."

"Dewa mau pergi?"

Ken menggeleng menghabiskan air putih di mulutnya "nggak, mau hunting foto dia, pada nggak ada yang bisa nemenin jadi aku anter aja sekalian" jelas Ken. Ia izin lebih awal setelah aku tanyai apakah nanti ia langsung pulang ke rumah selepas sekolah.

"Kenapa nggak pulang dulu, ganti-ganti baru berangkat lagi?" tanyaku sambil membawa kopi Mas Garin ke meja makan.

Ini sudah hari kelima Ken masuk sekolah lagi. Setelah skorsing yang ia anggap liburan.

"Nanti bolak-balik, Ma" tangannya merogoh ponsel di dalam tas miliknya.

"Lah, mau ke stasiun mana?" tanyaku. Aku menyodorkan semangkuk apel kupas di depan dirinya.

"Dia mau yang di utara itu, Ma, katanya sambil ketemuan sama komunitasnya gitu" jelas Ken sebelum menyuapkan sepotong apel ke mulutnya.

"Yaudah, kabarin kalau pulang telat, jangan macem-macem" peringatanku padanya. Takut banget kan pergaulan zaman sekarang. Untuk Ken dan Dewa aku sih percaya-percaya saja. Tapi teman-teman komunitas Dewa yang tidak aku percayai. Bisa saja, kan mereka memberi pengaruh buruk.

"Iya, emang Ken mau macem-macem kayak gimana" ia meyakinkanku.

"Gimana aja" aku menyesap teh hangat untuk pagiku. Karena hari ini aku tidak akan kemana-mana rasanya bisa santai saja nggak perlu terburu-buru.

"Ngomong-ngomong, kamu belum cerita ke Mama soal Papa bilang apa ke kamu buat baikan?" tanyaku lagi. Aku sudah beberapa kali memancing Ken ataupun Mas Garin soal hal ini, sampai sekarangpun aku belum mendapatkan jawabanya.

"Emang Ken janji mau cerita?" tanyanya sambil mengingat lagi apakah ia pernah menjanjikan hal itu padaku "nggak tuh" lanjutnya setelah mendapatkan ingatannya.

Ck, kenapa, sih. Bapak sama anak sama banget kalau urusan rahasia-rahasiaan. Seolah hal itu memang privasi father and son. Padahal aku udah mencoba memancing dirinya supaya cerita.

"Ya kalau kamu mau cerita Mama siap dengerin" kataku mencoba membuat hal itu tidak terdengar memaksa.

Dia menggeleng "nggak perlu diceritain kayaknya, yang penting udah selesai" katanya sangat santai seolah hal yang menjadi permasalahan bukanlah hal yang besar. Bukan hal yang membuat dirinya sampai pergi dari rumah. Seperti hal sepeleh kayak nggak sengaja jatuhin lauk ke meja saat mau dipindahin ke piring.

Aku menyenderkan badanku ke kursi meja makan setelah mendengar perkataan Ken "beneran?"

"Papa minta maaf."

"Terus?"

"Kan aku udah bilang, Papa pergi ke bandara ngejar pesawat" aku kecewa mendengar penuturan Ken. Selalu jawaban ini yang ia katakan.

Ken selalu berkata kalau Papanya nggak ada banyak waktu, harus keburu naik pesawat ke Kalimantan. Berlaku untuk Mas Garin juga, ia akan bilang nggak ada banyak waktu karena dirinya harus segera terbang ke Kalimantan.

"Nggak ada tambahan? Spill dikit" pintaku, mungkin kali ini dia akan terbuka. Pelan-pelan tapi pasti.

"Tanya Papa aja" jawaban yang lagi-lagi membuatku tidak semangat.

Kebetulan sekali, Si Mas Suami sedang dalam perjalanan menurunu tangga untuk menuju kemari.

Sebenarnya, aku senang mereka baikan. Aku senang bisa kembali ke rumah ini dan sarapan lagi dengan lengkap. Aku cuma kepo, bagaimana cara Mas Garin berusaha dan bisa mengambil hati Ken untuk baikan. Itu saja nggak lebih.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now