EMPAT PULUH SATU

16.3K 1.7K 307
                                    

Mas Garin menyusulku untuk keluar dari kamarku. Aku berjalan lebih dahulu tanpa memperdulikannya yang ternyata bisa menyusulku. Bahkan, kini dia berjalan di sampingku. Beberapa orang terlihat sudah siap dengan penampilan mereka masing-masing. Ruang tamu yang ramai sejak tadi, kini terlihat makin ramai karena semua orang berkumpul disana, saling menyapa sambil menunggu tamu utama datang.

Aku melirik Mas Garin yang berjalan di sampingku. Dia melirikku balik sambil tetap berjalan.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku menggeleng, membuang wajahku darinya.

Ada banyak keluarga disini, ada beberapa yang mungkin Mas Garin kenal karena mereka datang di acara lamaran begitupun dengan pernikahan kami berdua.

"Ada keluargaku, Mas" ucapku.

"Iya, saya tahu" jawabnya, berhenti berjalan saat kami sampai di samping meja berisi minuman.

"Bisa, kan, nggak usah bikin ribut sama aku" pintaku lebih kepada mengancam dirinya.

Dia mengangguk sambil mengambil segelas minuman yang diberikan oleh pihak katering "saya nggak ngajak kamu ribut."

Iya benar, sekarang tidak. Tapi, nanti aku tidak tahu.

Lagian, Mas Garin tuh nggak sadar kalau sikapnya yang nyebelin, bikin pengen kucakar. Bikin pengen ribut sama dia, gara-gara dia, secara tidak sengaja.

Aku mendekat sedikit, memepetkan diri di sebalah Mas Garin yang menegak minumannya. Membisikkan dan memberitahu beberapa nama orang yang belum pernah ia temui. Mas Garin hanya mengangguk-angguk saja saat aku beri tahu.

"Mas tahu, kan?" tanyaku.

"Hm" responnya karena dimulutnya masih ada minuman.

"Diem aja, sih, kamu."

"Kan, saya lagi minum, Na" ia meletakkan gelas kosong yang baru ia tandaskan isinya. Aku tidak merespon apa-apa.

"Itu" Mas Garin mengikuti arah mataku "neneknya Mbak Saras, ibunya Tante Tantri" jelasku. Karena Mbak Saras sudah tidak punya kakek atau nenek dari pihak Om Yanto, begitupula dengan aku.

Aku mengajak Mas Garin berjalan mendekati nenek Risma. Dia tinggal dengan saudara kandung Tante Tantri yang lain. Jadinya baru bisa datang sekarang bersama dengan saudara Tante Tantri, karena harus menyelesaikan kerja dulu. Aku meraih lengan Mas Garin, menariknya mendekat. Kami harus bersalaman denganya, bergantian dengan keluarga Mbak Saras lainnya.

"Assalamualaikum, Nek" sapaku di depannya.

Perempuan baya berambut putih ini tersenyum padaku "ini Gina nek" kataku, mungkin dia lupa karena sudah lama kami tidak bertemu. Beliau juga tidak bisa datang ke pernikahan kami karena anaknya sedang tidak bisa mengantar.

"Oalah, Gina, pangling loh nenek" katanya sambil memukul pundakku.

Aku menyalami tangannya, diikuti dengan Mas Garin.

"Siapa ini?" tanyanya.

"Ini Suami Gina nek, Mas Garin" aku memperkenalkan Mas Suami.

"Oh iya, nenek lupa kalau kamu sudah nikah" katanya dengan tertawa sendiri, menertawai dirinya "ganteng ya" kata Nenek sambil menepuk-nepuk pundak Mas Garin "gimana? Udah isi?" tanya nenek kemudian.

Ah, pertanyaan ini lagi. Aku sudah tidak menghitung berapa orang yang berpapasan dengan, berapa keluarga yang sudah kutemui dan menanyakan tentang hal ini. Kalau aku nggak punya sopan santun, aku mau pakai toa dan umumin ke mereka kalau aku belum hamil! perutku isinya cuma bakwan sama cendol.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now