TIGA PULUH SEMBILAN

16.3K 1.9K 393
                                    

"Istirahat gimana?" tanya Mas Garin mendekati diriku.

"Ya istirahat, aku sama kamu, hubungan ini" kataku.

"Break? Kamu pikir kita lagi pacaran, ini pernikahan, nggak segampang itu" katanya, seolah menolak permintaanku yang sangat tidak masuk akal di benaknya.

"Ya, whatever it's called, aku cuma butuh sedikit waktu dan jarak antara kamu dan aku" jelasku dengan menggerakkan tangganku diantara kami berdua.

"Buat apa? Hm?" tanyanya dengan wajah lelah, bahkan nada suaranya tak sebesar tadi.

"Buat, buat" aku melihat ke arah lain "buat mikir" jawabku.

"Mikir apa lagi?"

"Mikir apapun, mikirin hubungan kita, sikap kamu, perilaku aku, anything! Yang perlu aku pikirin sendiri" kataku sambil berbalik, memunggungi dirinya.

"Okey, soal sikap saya, I'm sorry" Mas Garin menjeda kalimatnya, ia berjalan untuk menghadap diriku "kita duduk dulu, saya akan jelasin ke kamu, kamu ngomong ke saya, salah saya apa, tapi jangan break begini, Na" katanya pelan padaku. Ia mempersilahkan aku untuk duduk di sofa.

"Nggak usah" tolakku.

"Kenapa? Kita harus bicarain ini, kamu perlu ngomong ke saya."

Aku terkekeh mendengarnya, menahan supaya tidak menangis di depan Mas Garin. Memalukan.

"Shh.." aku menarik napas "ngomong ya?" kataku sambil menatap dirinya.

"Berapa kali kamu nyuruh aku ngomong? ngomong ke saya!" aku melangkah sekali, lebih dekat "tapi pernah nggak kamu dengerin aku, percumaa! aku, aku ngomong tapi kamu nggak mau dengerin aku dulu" kataku sedikit menantang.

Mas Garin hanya diam, sambil terus menatapku. Namun, berikutnya aku menutup mulutku sendiri, menghindari kontak mata dengannya.

Dia menelan ludahnya dengan susah payah "saya minta maaf" katanya dengan nada penuh penyesalan. Aku tidak bisa, bukan, tidak kuat melihat dirinya.

"Ngga-k usah" aku menjedanya, permintaan maaf yang keluar dari mulutnya malah membuat air mataku menetes "nggak sekarang, aku bukannya nggak bisa maafin kamu, Mas, cuma kali ini, aku belum mikir dengan benar" aku menggigit bibir bawahku menahan isakan, menarik napas untuk melanjutkan kalimatku "segala yang keluar dari mulut kamu, cu-ma kedenger kayak alasan aja, ak-ku masih kebawa emosi" aku nggak bisa melanjutkannya.

"Na" Mas Garin mendekat ke arahku, bergerak untuk melihat wajahku "kamu nangis?" tanyanya, masih berusaha meraih wajahku.

"Mas" aku menahan tangannya yang ingin meraih wajahku.

"Na, please" ia berkata dengan sangat pelan "saya nggak bisa lihat kamu nangis."

"So, please!" aku melihat ke manik matanya, tidak peduli dengan pipiku yang masih basah "kali ini dengerin aku, kasih aku sedikit waktu" pintaku dengan sedikit memohon padanya.

Dia menatap diriku juga saat aku mengatakannya. Membuang tatapan matanya dan mengusap kasar wajahnya 

"Mas tenang aja, aku nggak akan ninggalin kamu, apalagi berencana cerai dari kamu, I just need time, buat diriku sendiri" kataku, supaya dia tidak khawatir dan mau mengiyakan permintaanku.

Namun, sekalipun Mas Garin tidak menyetujuinya. Kali ini, aku nggak peduli, aku butuh waktu buat mikir. Berada tetap bersamanya, di dekatnya setelah situasi tadi. Rasanya segala yang Mas Garin katakan atau lakukan hanya akan kuanggap salah.

Mas Garin menyugar rambutnya, lalu melihat ke arahku dan ia mengangguk "ya, take your time" katanya pelan.

Izin darinya adalah penguat untuk diriku. Meyakinkan kalau yang aku lakukan adalah yang memang harus aku lakukan sekarang.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now