T I G A

30.1K 2.2K 50
                                    

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam" mendengar suara salam aku cepat-cepat lari ke depan. Mematikan kran air, aku sedang mencuci piring bekas sarapan.

Bi Nar ternyata yang datang dengan satu tandan pisang yang di bawa laki-laki di sebelahnya.

Akhirnya wanita yang sudah berkepala empat itu balik. Rasanya ditinggal Bi Nar lima hari aku sudah pontang-panting membereskan rumah. Rumah Mas Garin tidak terlalu besar hanya 20x15 meter dengan halaman yang juga taman kecil dan tempat parkir lumayan untuk 3 mobil, serta berlantai dua. Ruang tamu, ruang makan, dapur, dua kamar tidur utama, dua kamar tamu, ruang kerja, ruang main, sebuah tempat beribadah dan sebuah kolam di lantai atas. Tidak ada yang istimewa dari rumah ini. Hanya saja aku nyaman berada disini. Ada gaya gravitasi yang membuat aku selalu ingin pulang. Rumahnya tidak lebih besar dari rumah om-ku, tapi membersihkannya sendiri berbarengan dengan direcoki dua laki-laki itu sangat merepotkan.

"Kok sama kang Eman" tanyaku.

Kang Eman terseyum padaku, dia anak Bi Nar. Aku tahu karena dulu waktu awal tinggal di rumah Mas Garin dia bekerja di sini sebagai tukang kebun. Meskipun umurnya lebih muda dariku rasanya aku lebih enak memanggilnya akang, kebiasaan yang menurun dari anak. Sebagai anggota baru di keluarga aku hanya mengikuti kebiasaan. Kini katanya dia sudah dapat pekerjaan di desanya.

Aku ajak mereka masuk.

"Iya bu, rencananya balik naik kereta kebetulan Eman ngirim barang ke kota jadi sekalian, di kebun ada pisang matang jadi saya bawakan inget kalau ibu suka makan buah" jelasnya dengan nada lembut yang selalu membuatku senang. Merasa seperti dinasehati oleh ibu.

Kang Eman meletakkan satu tandan pisang tadi di dapur, dia sudah tahu seluk-beluk rumah. Sudah satu tahun bekerja.

"Banyak loh Bi itu"

"Nggak papa, ibu sama bapak sudah banyak kasih bantuan sama saya dan keluarga" dia tersenyum lembut sekali.

Ini Bi Nar emang kalem banget, lemah lembut beda seperti majikannya ini.

"Bu, saya langsung balik ya" pamit Kang Eman padaku.

"Loh kok buru-buru, biar minum dulu kang" tawarku.

"Terima kasih bu yang punya barang sudah nunggu"

"Makasih ya kang, salam buat teh Nirmala" dia menunduk sebelum keluar. Nirmala adalah istri Kang Eman.

Rasanya kangen banget sama Bi Nar. Baru ditinggal lima hari tapi aku sudah kebosanan sendirian di rumah.

"Saya ke kamar sebentar bu" pamit Bi Nar membawa tas jinjingnya.

Aish hampir terlupa. Piring kotor masih belum selesai dicuci di dapur. Aku ke dapur menyelesaikan cucian piring yang terhenti karena kedatangan Bi Nar. Cuci piring saja apa harus meminta Bi Nar untuk melanjutkan.

"Biar saya bantu bu" Bi Nar mendatangiku yang sibuk dengan piring kotor.

"Nggak papa Bi sudah mau selesai" tolakku. Jelas, ini hanya perlu dibilas saja, tidak perlu dikerjakan dua orang kan.

"Kalau begitu saya cuci baju bu" Bi nar izin pergi tapi kuhentikan.

"Eh, sudah aku cuci, Bi Nar setrika aja" Dia mengangguk ramah.

Mungkin ini yang membuat Mas Garin betah kalau Bi Nar bekerja disini. Bi Nar selalu mengerjakan tugasnya tanpa pernah mengeluh. Dia baru datang loh tapi sudah mau bersih-bersih. Bi Nar bekerja disini sejak 7 tahun, sejak Ken masih umur 8 tahun.

Bi Nar berbelok ke arah ruang setrika. Aku mengikutinya.

Aku meringis saat melihat betapa banyak baju kering di ruangan itu yang masih belum ku setrika. Bi Nar baru lima hari libur tapi ruangan itu sudah penuh dengan baju-baju kering yang belum ku lipat. Kemarin lusa Mas Garin sibuk mencari kemeja birunya yang belum aku setrika. Dengan bujukan sekuat tenagaku akhirnya dia mau pakai yang lain. Dengan tekad sedikit ciut, kemarin sore kusetrika kemeja-kemeja Mas Garin dengan sangat detail. Kupilah dulu beberapa kemejanya, yang ia suka tak berani kusetrika. Tak kubiarkan bagian kecil kemejanya lecek.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now