TIGA PULUH TUJUH

14.2K 1.8K 97
                                    

Semalam, aku tidak jadi bercerita tentang penerimaan kerjaku pada Mas Garin. Begitupula isi surat panggilan Ken yang ditujukan pada kami sebagai orang tua. Surat itu menyita pikiranku dari keinginan berdiskusi dengan Mas Suami, juga karena si Masnya sibuk dengan pekerjaannya sampai begadang. Ia juga menyuruhku untuk tidur lebih dahulu. Semalam, aku juga sudah mencoba menghubungi Ken, tapi anak itu tidak mengangkatnya, mungkin saja sudah tertidur.

Hari ini aku bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah membangunkan Mas Garin untuk sholat subuh, aku langsung beranjak ke dapur, sedang tidak berhalangan juga. Seperti biasa, Bi Narsih sudah bangun pagi-pagi begini. Ia menghampiri diriku selepas sholat subuh. Memakai baju yang masih sama dengan semalam. Aku mulai dengan mengecek isi kulkas dan persediaan bahan makanan yang ada di dalamnya untuk memutuskan mau memasak apa.

"Lebih pagi dari biasanya Bu?" tanya Bi Nar yang mulai memanaskan air.

"Iya Bi, sekalian juga" jawabku seadanya, biasanya aku mulai turun ke dapur sekutar pukul lima atau setengah enam. Menghambiskan sedikit waktu untuk bermain ponsel atau mencari kesadaranku sebelum mulai memasak.

Aku mengeluarkan beberapa bahan makanan yang sudah tergambar dalam kepalaku untuk nanti dimasak apa. Memulainya dengan meminta bantuan Bi Nar untuk memotong beberapa sayuran untuk pendamping lauk. Aku mulai memasukkan potongan daging ayam ke dalam air yang mulai mendidih. Aku mengecek jam di ponselku seusai mencuci tanganku, sekalipun sudah ada jam tersendiri di dapur.

"Bu ini sayurnya sudah, mau Bibi bantu ngapain?" tanya Bi Nar menawarkan bantuan.

"Biar aku aja Bi, aku masak sendiri aja , Bi Nar bisa lanjutin kerjaan yang lain" hari ini aku tidak memasak terlalu banyak, karena berkurang satu porsi. Nanti siang juga aku sibuk bantuin tante Tantri ngurusin lamarannya Mbak Saras.

"Oke Bu, kalau begitu" setelah mengatakan itu, Bi Nar meninggalkanku sendirian di dapur dengan suasana pagi yang mulai tidak sunyi.

Sekarang sudah tidak sepagi tadi, aku berencana untuk menelpon Ken.

'Apa aku ganggu ya kalo telpon?' Tanyaku pada diri sendiri. Tapi tidak apalah, namanya juga mau tanya kabar anaknya, kapan aja boleh. Sekalian bangunin kalau itu anak masih molor, susah banget, kan, kalau dibangunin. Iya kalau di rumah sendiri, ini di rumah orang, takut kurang sopan.

Aku mendial nomor Ken. Percobaan pertama terputus karena tidak ada yang mengangkat. Percobaan kedua, akhirnya diangkat setelah cukup lama hanya terdengar bunyi menyambungkan. Terdengar suara serak dari ujung sana. Tidak salah lagi, Ken pasti baru terbangun karena panggilan telepon dariku.

"Iya Ma?" suaranya terdengar ogah-ogahan. Dengan tidak sengaja bibirku tertarik ke atas. Yaiyalah, siapa juga yang tidak kesal tidurnya diganggu.

"Selamat pagi anak Mama, udah bangun?" tanyaku, basa-basi.

"Hm, ini udah bicara sama Mama" bisa banget ngelesnya kayak bapaknya. Tapi itu suaranya masih suara orang bangun tidur.

"Percaya, deh" kataku agar terdengar percaya "bangun dulu nak, sholat! Udah subuh ini" perintahku padanya.

"Iya, tutup dulu telponnya, biar bisa sholat" alasannya banyak sekali. Ini emang udah darah keturunan tukang ngeles.

"Tunggu dulu" aku menghentikan permintaanya.

"Apa?" suaranya terdengar jengah, aku tahu dia pasti masih sangat mengantuk, seperti biasanya yang ia tingkahkan di rumah.

"Pulang kapan?" tanyaku.

"Pagi-pagi cuma tanya ini, Ma?" aku terkekeh karena suara serak dan agak merengeknya bersatu "ya nanti Ken pasti pulang" katanya tidak pasti, terdengar tidak meyakinkan.

My Troublesome Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang