LIMA PULUH ENAM

15.4K 1.6K 157
                                    

Hari ini hari Sabtu.

Karena hari ini hari sabtu, anak-anak sudah berangkat untuk kegiatan ekstrakulikuler mereka sejak pukul delapan pagi tadi. Kami sudah sarapan bersama dengan menu kontinental yang aku buat pagi. Memilih sesuatu yang tidak terlalu ribet untuk dimasak pagi hari dan sudah aku sesuaikan dengan lidah orang Indonesia. Bi Nar tengah membersihkan kamar Ken yang semalam dibuat menginap dengan tiga orang temannya juga ruang bermain yang pastinya berantakan sekalipun aku memintanya menjaga kebersihan. Punya anak laki-laki sedikit susah untu diajak rapi, mengurus Rizky sejak dia kecil membuatku sedikit paham betapa susahnya membuat mereka menjadi seseorang yang rapi.

"Mas" aku memanggil Mas Garin yang duduk di kursi mini bar yang satu set dengan dapur. Ia duduk tepat di depanku saat ini.

"Hm" sahutnya tanpa menoleh ke arahku yang jelas-jelas memanggilnya dan ada di hadapannya. Ia sejak tadi hanya berpindah duduk ke situ dan fokus pada layar tablet-nya. Ia berpindah karena sadar aku dan Bi Nar akan membersihkan meja makan -tadi, setelah sarapan-. Sampai sekarang, ia tidak beranjak dari situ, padahal meja makan sudah bersih dan dia tidak ada urusan di dapur ini.

"Ngapain kamu?" tanyaku sambil membuka bungkusan tepung terigu berprotein tinggi yang baru aku ambil dari lemari.

"Kerja" jawabnya singkat masih tidak melihat diriku walau hanya sekilas.

"Ngapain kerja di sini, kenapa nggak kerja di ruang kerja kamu" aku memberikan saran, sekalian menyuruhnya pergi atau setidaknya ia berpindah dari hadapanku. Menganggu acara membuat cookies saja. Iya, karena seperti hari-hari biasanya, aku tidak ada kerjaan. Aku memilih untuk membuat cookies, untuk camilan Ken dan teman-temannya juga untuk diriku. Aku juga berencana membuat yang gluten free sekalian untuk mengirimkan ke Papa. Sebagai tanda terima kasih karena merawat aku dan Mas Garin dengan baik selama kami berdua di rumah sakit.

Akhirnya Mas Garin menaikkan kepalanya, melihat diriku yang berdiri di hadapannya dengan memakai celmek "kata kamu saya nggak boleh banyak naik turun tangga, biar nggak nyeri" Mas Garin mengatakan itu, membuatku ingat kalau aku yang melarangnya untuk banyak naik turun tangga. Kemarin dia sendiri yang bilang kakinya suka nyeri jadi aku menyuruhnya mengurangi bolak balik naik turun.

Aku mengangguk paham "ya, kamu bisa ngerjain di tempat yang lebih nyaman, Mas, ngapain di dapur, aku juga lagi mau buat kue" kataku, tetap ada unsur mengusir di dalam kalimat yang kukatakan.

Dia melirikku. Lalu, melihatku secara terang-terangan sampai dengan apa saja yang ada di atas meja "saya ganggu kamu?" tanyanya dengan polos.

Sebenarnya si enggak menganggu, cuma nggak nyaman aja ditungguin sama Mas Garin kalau lagi masak begini. Dia mana pernah mau aku suruh menunggui diriku memasak. Dia lebih memilih pekerjaannya ketimbang menemani diriku masak. "Nggak sih" kataku sambil menggeleng dan tetap melanjutkan membuka kemasan dari bahan-bahan lain yang aku butuhkan.

"Ya udah, saya nggak ganggu kamu, saya kerja kamu juga ada kerjaan" katanya enteng, kembali fokus pada tablet miliknya.

"Ya, seenggaknya duduk sana, biar kakinya nggak ngegantung" celotehku tanpa berniat untuk dijawab Mas Garin.

"Sama aja, repot banget ngurusin saya" balasnya.

"Kalau nggak diurusin nanti ngomel" aku ngomongin Mas Garin di depan dirinya. Biar nggak disangka ngomongin orang di belakangnya.

"Siapa?"

"Siapa? Ya kamu" kataku sambil menutup pintu lemari agak keras.

"Pelan-pelan, patah itu nanti" dia tidak berkomentar soal perkataanku, malah mengomentari tindakanku.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now