ENAM PULUH TIGA

12.3K 1.5K 286
                                    

"Gina."

"Hm?" aku menyahuti Mbak Saras. Mengangkat kepalaku yang sejak tadi memainkan ponselku.

"Enak nggak, sih, nikah?" tanyanya tiba-tiba. Mbak Saras sampai mengubah posisi rebahannya menjadi telungkup dan menahan kepalanya dengan telapak tangan. Melihat diriku yang terlentang di sebelahnya.

Kami berdua sejak tadi hanya sedikit bercerita dan berbagi keluh kesah karena sudah lama tidak menghabiskan waktu seperti ini. Rebahan setelah menjauhkan semua kain-kain batik dari atas kasurnya. Kalau tidak karena pekerjaan Mbak Saras yang mengharuskan dia sibuk di siang hari, atau karena aku yang memilih untuk di rumah saat malam demi menemani Mas Garin dan Ken, sedangkan Mbak Saras baru free malam hari.

"Ada enaknya, ada enggaknya" jawabku klise.

"Jawaban semua orang yang udah nikah" komentar Mbak Saras.

"Kalau soal yang enak-enak, enak banget" kataku tak tahan untuk langsung tertawa.

Mbak Saras segera memukul diriku, "sumpah ya, pikiran kamu rusak gara-gara keseringan main sama Garin."

Aku makin tertawa. Iya, sering banget mainnya. Kan, kami lagi semangat-semangatnya. Program untuk punya Garin atau Gina travel size.

"Mikirin apa!" tergurnya saat aku tidak berhenti tertawa.

"Kepo" balasku "nanti kalau Mbak udah nikah aku kasih tau" godaku. Tanpa menunggu, pukulan keras langsung mengenai lenganku.

"Bercanda atuh neng." Tidak tahu kenapa. Menyadari satu hal membuat harapan-harapan yang tidak seharusnya ada makin muncul. Membuat kepercayaan diri makin meningkat. Membuat diriku bermimpi lebih banyak. Membuatku bahagia sekalipun belum memastikannya. Membuatku ingin tertawa hari ini.

"Jangan mikir macem-macem" tergurnya lagi.

Aku menggeleng "cuma semacem, kok" balasku. Iya, satu macam saja. Satu calon kebahagiaan yang belum dipastikan benar keberadaanya.

Aku mengubah posisiku seperti yang Mbak Saras lakukan "Mbak Sadar nggak, sih, kalau Mbak Saras itu cantik, baik, sopan, berpendidikan, berwibawa, pinter, orang-orang nggak akan ada yang ngira kalau kita sepupuan, apalagi kalau lagi serius, duh, bawaanya aku gak bisa bercanda lagi" kataku, tiba-tiba ingin memuji Mbak Saras. Aku ingin dia lebih percaya diri. Walaupun, dia sangat percaya diri. Aku ingin dia tidak takut pada apa yang dihadapinya nanti.

"Iya, aku tahu."

Tuh, kan, percaya dirinya emang besar. Mbak Saras itu duplikasi model, sayangnya dia tidak berprofesi sebagai model.

"Ya udah, percaya aja, memang kalau mau menikah, bisikan-bisikan ketidakyakinan itu bakal muncul Mbak, yang penting kamu harus percaya diri dan yakin" kataku, memotivasinya.

Setelah mendengarkan itu, Mbak Saras mengubah posisinya menjadi terlentang. Aku juga ikut-ikutan.

"Gitu, ya?" ia menerawang.

"Iya, kamu yakin aja, jangan gini, ah, Mbak Saras kok nggak percaya diri gini" kataku. Semoga dia tidak khawatir lagi soal pernikahannya.

Aku tahu. Penundaan acara penentuan tanggal pernikahan, berdampak pada kepercayaannya. Pak Lino yang juga lebih fokus pada tanggung jawab yang diberikan Mas Garin untuk proyek di Kalimantan, juga menyita waktu mereka berdua. Pasti ada perasaan khawatir dan bimbang yang menyerang Mbak Saras kali ini.

Setelah hening beberapa saat Mbak Saras menoleh dan bertanya "ngomong-ngomong, Lo mau nginep disini? Tumben belum dijemput?" tanya Mbak Saras. Menanyakan kehadiran Mas Suami yang juga merangkap sebagai jasa antar jemput diriku.

My Troublesome Husband Where stories live. Discover now