LIMA PULUH TIGA

16.7K 1.8K 163
                                    

Kali ini nggak lupa. Pakabs?
Semoga Ewel kalian maapin. 🙆

*

*

*

*

*

“Ini masih harus diminum ya?” tanya Mas Garin sambil menatap piringan obat di depannya. Ada beberapa butir obat di atasnya. Dia sudah menghabiskan jatah makan siangnya juga snack siang berupa kroket isi ragout sayur juga susu kedelai yang tinggal setengah dari isi botol berukuran 350 ml.

Aku yang tadi sedang asik menonton televisi menunggui Mas Garin makan siang, kini berdiri dari sofa dan berjalan ke arahnya “Iya dong, harus diminum sesuai anjuran dokter” kataku.

“Saya nggak suka minum obat, Na” lapornya.

“Emang orang-orang ke rumah sakit, ke apotek gara-gara mereka suka minum obat? Favorit? Kesukaan sampai harus nyetok buat dicemilin? Enggak, kan, Mas?” tanyaku yang direspon dengan decakan oleh Mas Garin sambil memutar bola matanya malas.

“Lagian besok saya udah boleh pulang, masa obatnya masih aja, nggak dikurangin dosisnya?” tanyanya padaku. Ya... Mana aku tahu. Memang aku dokternya disini? Dia bertanya seolah aku adalah mbak-mbak perawat yang diutus dokter dan bisa jawab pertanyaan random darinya selama ia di rumah sakit ini.

“Koreksi!” aku memberikan gerakan telunjuk padanya “masih dipantau, kalau besok udah bener-bener baik kondisinya, kamu boleh pulang” jelasku padanya “makanya, obatnya diminum biar besok bisa pulang” bujukku.

Aku membuka tanganya, mengambil beberapa obat dari piring obat yang kecil dan memberikannya pada tangan terbuka Mas Garin. Aku memberikan isyarat agar Mas garin segera menenggak obatnya. Dia tampak tidak semangat. Tapi, tetap memasukkan obat-obatan itu ke dalam mulutnya dan segera menyambutnya dengan segelas air putih yang aku berikan padanya. Wajahnya tampak mengernyit sebentar setelah menenggak semua obat dalam mulutnya. Aku mengambil alih gelas kosong darinya, mengambil air lagi dari dispenser dan memberikannya kembali ke Mas Garin.

Good man” godaku, memberikan jempolku padanya setelah Mas Garin berhasil meminum obatnya yang ia balas dengan wajah tidak sedapnya. Sengaja memplesetkan pujian dengan kata ‘man’ alih-alih ‘boy’, kan dia sudah laki-laki berumur, nggak cocok kalau aku panggil ‘boy’. Aku mengembalikan meja untuk ia makan kembali ke tempatnya.

Nghhhh” Mas Garin merenggangkan otot punggungnya dengan melakukan stretching kecil dengan tubuhnya.

Aku duduk kembali ke sofa, mengambil remote televisi dan menggantinya ke channel lain karena sedang iklan.

Ck” aku melirik dirinya yang baru saja berdecak.

"Saya nggak suka acaranya" protes Mas Garin dengan mata yang fokus pada layar televisi.

"Jangan dilihat, aku yang nonton" solusi dariku. Gitu aja ribet, kalau nggak suka ya jangan dilihat jangan malah ngerecokin aku yang lagi asik nonton FTV -film televisi. Udah lama nggak nonton beginian. Biasanya lebih suka nontom series atau film. Dia berdecak lagi setelah beberapa saat diam saja sehabis aku suruh nggak ikut nonton.

"Apa?" lirikku dengan malas sambil tetap bersandar di sofa.

"Saya, bosen tau" lapornya mengenai apa yang ia rasakan sekarang. Apalagi diriku. Sejak dua hari yang lalu hanya dengerin dia dan ketemu sama dia. Mas Garin cerewet banget di rumah sakit. Mana pengen cepet-cepet pulang. Untungnya masalah masakan, dia menurut untuk memakannya. Sengaja aku mengadu ke dokternya dan meminta agar bisa menyuruh Mas Garin makan. Akhirnya, dia diceramahi soal nutrisi makanan yang harus terpenuhi selama masa pemulihan di rumah sakit. Tak lupa dengan ocehanku tiap dia minta makanan di luar menu rumah sakit. Begini-begini aku pahamlah kalau makanan rumah sakit itu nggak sembarang dimasak sekalipun kadang rasanya gak sesuai lidah.

My Troublesome Husband Kde žijí příběhy. Začni objevovat