LIMA PULUH SEMBILAN

17.4K 1.7K 729
                                    

Udah berapa lama aku ga menyapa?
🐛🐛🐛🐛

*

*

*

*

*

Aku menguap, menutup mulutku yang terbuka mengeluarkan udara dengan punggung tangan. Sedikit menyipitkan mata untuk menetralkan cahaya yang tidak terlalu banyak masuk ke mata. Menjauhkan tanganku dari atas perut Mas Garin yang terlapisi selimut untuk aku renggangkan sedikit. Tidak mau membuat pergerakan besar karena takut Mas Suami terbangun dari tidurnya. Ia terlihat sangat lelap di sampingku. Melihat dirinya tidur di sampingku setelah olahraga malam kami, aku makin terbiasa. Awal-awal, saat aku terbangun tengah malam, ia susah ditemukan ada di sampingku. Aku lebih sering menemukannya sedang merokok di balkon kamar.

Aku meliriknya lagi, Mas Garin nampak damai dalam tidurnya. Aku gerakkan tanganku untuk mendekatkan pada wajahnya. Mengamati wajah suamiku yang tengah tertidur setelah aktivitas kami yang penuh keringat. Aku belai pelan rahangnya yang sudah mulai tumbuh rambut-rambut kecil, nampaknya ia belum mencukur jenggotnya. Aku teringat sensasinya, rambut-rambut kecil itu menimbulkan rasa sedikit kegelian saat Mas Garin menggesekkan wajahnya padaku. Pelan aku elus. Makin naik ke pelipisnya untuk dapat menyugar rambutnya. Belum sampai di atas kepala, Mas Garin reflek menggerakkan kepalanya merasa tidurnya kuganggu. Mendapatkan respon seperti itu, aku hentikan perbuatanku yang akan menganggu tidurnya. Aku dengar ia melenguh dalam tidurnya, masih dengan mata tertutup pastinya.

Aku bergeser menjauhi Mas Garjn dengan hati-hati. Sampai di pinggir ranjang, aku menurunkan kakiku pelan-pelan dan berdiri pelan-pelan, berusaha tidak memberikan perbedaan yang terasa di ranjang saat aku berdiri. Aku mengambil outer dari nightgown-ku yang tertimbun selimut. Aku mengambilnya dari balik selimut. Lalu, aku memakainya agar menutupi nightgown yang atasnya hanya sebatas dada. Sebelum beranjak, aku naikkan selimut Mas Garin untuk menutupi tubuhnya yang bertelanjang dada. Bisa-bisa masuk angin ini bapaknya Ken, nanti aku juga yang repot. Aku melihat sekilas jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Setelahnya, aku keluar kamar dan turun menuju dapur.

Aku terbangun dari tidur karena lapar. Perutku tidak bisa diajak kompromi barang menunggu 4 jam lagi saja, setidaknya setelah subuh. Tapi, perutku berbunyi dan sepertinya cacing-cacing di dalam ikut berdemo ingin diberi makan. Ya, hanya bayanganku saja. Aku nggak mau kalau jadi cacingan. Usaha kami dalam menghadirkan Garin atau Gina travel size ternyata menghabiskan simpanan energi dalam tubuhku. Aku jadi lapar sekarang. Kalau bisa aku memilih, lebih baik cacing-cacing itu memakan lemak perutku saja. Di dapur, aku mengambil panci dan mengisinya dengan air untuk dimasak. Yap. Mie instant adalah pilihan tercepat dikala perut terus memberontak ingin dikasih makan cepat. Aku menyiapkan mangkok juga sebungkus mie instant yang bumbunya sekarang sudah kukeluarkan ke dalam mangkok. Sambil menunggu air mendidih, aku mengambil telur dan sebuah cabai hijaudari dalam kulkas. Mie pakai cabai emang paket komplit, lagi pengen yang pedes, sekalipun gak sepedas levelnya Mas Garin. Sedikit berjongkok untuk mengambil cabai di kulkas bagian bawah. Setelah mendapatkan apa yang aku butuhkan, aku tutup kembali pintu kulkas.

"Na."

"Astaga!" ucapku dengan terkejut hampir berteriak. Terkejut karena panggilan pelan Mas Garin yang ntah sejak kapan sudah berdiri di samping kulkas. Sontak saja aku tepuk dadanya sedikit keras, kaget karena keberadaanya.

"Ck, Apaan" gerutunya tanpa emosi, sangat lembut. Ia mengelus dadanya yang baru aku pukul. Sepertinya ia belum benar-benar mengumpulkan sisa-sisa nyawanya.

"Ngagetin" kataku sambil ikut mengeluas dadanya. Aku tidak bermaksud memukulnya. Aku juga tahu kalau Mas Garin tidak bermaksud mengagetkanku. Dia tiba-tiba aja nongol, mana dari tadi nggak ada tuh tanda-tanda kehadirannya. Kayak jelangkung datang tak diundang. Mana lampu rumah pada mati.

My Troublesome Husband Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang