ENAM PULUH DUA

13.8K 1.5K 206
                                    

Pagi ini, udara di luar sangat dingin. Saat matahari masih malu-malu, embun pagi ikut membasahi balkon kamar kami. Saat aku buka pintu balkon, dinginnya udara membuatku tak jadi membukanya dan menutup pintu itu kembali. Memotivasiku untuk tetap berada di dalam dekapan kehangatan. Tetap berada di balik selimut yang hangat. Ditambah pematik rasa panas dari Mas Garin. Menghilangkan perasaan takut kedinginan dan rasa menggigil setelah merasakan udara dini hari. Sekarang matahari sudah muncul. Tapi, cahayanya tetap tak terpancar bebas disembunyikan oleh awan. Meletakkan kepalaku di atas bantal empuk adalah pilihan tepat. Meringkuk dalam pelukan Mas Garin adalah keberanian yang kulakukan setelah kami selesai sholat subuh.

Pelukan hangat Mas Garin, menghentikanku turun untuk menghangatkan diri dengan api kompor. Lebih memilih menghabiskan pagi bersamanya yang direnggut rasa kantuk. Aku melenguh. Terbangun karena fakta bahwa hari sudah lebih bercahaya dari tadi pagi. Pagi sudah tidak sepagi tadi. Sambil membuka mata perlahan, aku surai rambutku sendiri ke belakang, menghilangkan anakan rambut yang menutupi pemandangan pagiku. Aku sedikit tergelitik, menggerakkan kepalaku reflek. Kutengok ke belakang, pemilik hembusan napas yang menabrak leherku. Mas Garin terlelap di sana. Disembunyikan wajahnya diantara bantal dan leher belakangku sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya. Aku menggeliat, berusaha membuat tubuhku terlentang karena dekapan tangan Mas Garin di perutku. Tanganya berat.

"Nghhh" Mas Garin dalam keadaan tidak sadar malah mempererat tanganya di perutku.

Aku tepuk punggung tanganya yang berada di balik selimut, pelan-pelan "Mas" kupanggil juga dia.

Sekali lagi, aku berusaha bebas dan kali ini ada kemajuan. Aku bisa bergerak hingga mengubah posisiku menjadi terlentang. Sedikit menjauhkan kepalaku agar bisa melihat wajahnya yang matanya masih terpejam sekarang.

"Mas" kupanggil lagi dengan kini berpindah menepuk-nepuk pinggangnya.

"Hmm?" Mas Garin mengernyit saat mendapatkan gangguan-gangguan kecil dariku. Wajahnya berpusat jadi satu di pangkal tulang hidung.

"Udah jam enam" aku memberi tahunya setelah berhasil membaca jam. Sedikit terkejut juga aku setelah tahu sekarang jam berapa. Karena cukup terlambat untuk bangun jam segini. Aku belum membuat sarapan untuk mereka.

Mas Garin langsung membuka matanya setelah aku beri tahu sekarang pukul berapa. Aku terkekeh kecil melihat bagaimana Mas Suami berusaha membuka mata tetap dengan rasa kantuknya. Aku angkat tangan Mas Garin yang berat itu dari atas perutku, membawanya ke atas tubuh Mas Garin sendiri. Mas Garin menggaruk kepalanya seperti biasa, mencoba mengurangi rasa kantuk.

"Ya, udah" ia menjawab pemberitahuanku setelah jangka yang cukup lama.

"Ya, udah, ayo bangun, kamu nggak kerja?" tanyaku.

Mas Garin menggeleng "saya nggak harus barangkat pagi" betul, dia memang tidak harus berangkat sepagi ini ke restaurant-nya. Tidak ada peraturan dalam restaurant-nya yang mengharuskan pemilik datang pagi-pagi.

"Baik, bapak" kataku mengejeknya. Mas Garin tidak merespon. Memejamkan kembali matanya.

Sambil menyuruh Mas Garin aku berganti posisi menjadi menghadapnya "Mas, jangan tidur lagi!" aku goncang tubuhnya berkali-kali.

Kenapa ekspresi Mas Garin tampak menggemaskan saat aku ganggu tidurnya. Dia tidak mengelak, tapi juga tidak mengindahkan gangguan-gangguan dariku.

Ia membuka matanya, mungkin jengah karena aku terus menggoncang tubuhnya "ya, udah" ia menangkap tanganku "sana, kamu nggak buat sarapan, ini udah pagi" Mas Garin berencana mengusirku dari sini agar tidurnya tidak kuganggu.

Aku terkekeh geli, melihat tingkahnya. Tidak tahu dorongan dari mana. Aku dekatkan wajahku dan mengecup bibirnya sekilas.

Cup.

My Troublesome Husband Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon