DANADYAKSA | 04

30.1K 3.4K 34
                                    


Sejak kemarin, Alsava masih terpikirkan oleh Aksa. Kemarin, Alsava diantar sampai rumah dengan sepeda motor milik cowok itu. Aksa juga sempat meminta maaf kepada ayahnya karena memulangkan Alsava sore-sore. Ayahnya juga sempat bertanya-tanya tentang Aksa. Tentang Bagaimana Alsava bisa diantar pulang oleh Aksa.

Setiap ia melihat pantulan wajahnya lewat cermin, ia akan selalu ingat bahwa kacamata yang dipakainya adalah dari uang Aksa. Yang ternyata, Aksa juga lebih membutuhkan uang itu.

"Diem-diem aja lo, Va." tegur Mingmei menutup bukunya setelah belajar.

"Galau gue, Mei." jawab Alsava menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan di atas meja.

"Galau kenapa? Jefri Nichol punya pacar baru?" tebak Mingmei.

"Ish, bukan." kata Alsava memukul lengan Mingmei pelan.

"Gue merasa bersalah banget, Mei." Alsava menegakkan badannya dan menatap Mingmei sepenuhnya.

"Sama siapa?"

"Aksa." jawab Alsava singkat.

"Bukannya urusan lo sama dia udah kelar? Dia udah gantiin kacamata lo, kan? Terus kenapa malah lo yang merasa bersalah?" tanya Mingmei beruntun.

"Kalo dipikir-pikir, masalah ini gue yang salah, nggak, sih?" tanya Alsava. Mingmei hanya diam, menyimak Alsava.

"Kacamata gue nih udah dua tahun lalu dan emang udah waktunya ganti. Gue juga yang salah kenapa bisa naroh kacamata disitu."

"Kalo dipikir-pikir, emang lo yang salah. Tapi kenapa lo kepikirannya baru sekarang?" tanya Mingmei.

"Kemarin gue ketemu anak SMP yang di bully dan ternyata itu adiknya Aksa. Gue diajak ke rumahnya. Pas itu gue baru tau kalo Aksa tuh sederhana banget. Orang tuanya udah meninggal, Mei. Dan dia ngidupin dua adiknya." jelas Alsava dengan nada menyesal.

"Gue udah sadar sih kalo dia sederhana banget, dari penampilannya aja udah keliatan. Tapi gue nggak nyangka hidupnya kayak gitu." Mingmei berujar pelan.

"Terus gue harus gimana, Mei? Gue ngerasa bersalah banget."

"Lo bisa balikin duitnya Aksa. Daripada lo kepikiran terus, kan?" usul Mingmei.

"Gue orangnya emosian banget, ya. Nggak bisa kontrol emosi. Sampe ngerugiin orang lain karena sifat gue. Harusnya waktu itu gue sadar kalo gue yang salah. Bukannya malah marah-marah gitu." gumam Alsava pelan.

"Nggak usah dipikirin sampe segitunya, Va. Nggak semua hal-hal kecil harus lo pikirin. Kalo lo mikir aja masalah lo nggak bakal kelar. Kalo emang lo kepikiran, balikin duitnya aja." saran Mingmei mengerti sifat temannya yang selalu terpikir hal-hal yang bahkan sebenarnya tak perlu dipikirkan berlebihan.

"Gue ke kelasnya Aksa, deh. Ngeganjel banget. Ngerasa bersalah terus." ucapnya beranjak berdiri dari duduknya.

"Gue temenin, nggak, Va?" tawar Mingmei dijawab gelengan oleh Alsava.

"Emang lo berani sama ke kelasnya Aksa sendirian?" tanya Mingmei.

"Berani lah! Ngeremehin gue banget." ujarnya dan keluar dari kelas.

Sejak malam, Alsava tidak bisa tidur. Selalu terbayang wajah polos Fadil yang meminta mainan. Andai dirinya tidak egois kala itu, mungkin Fadil tidak akan bertengkar karena mainan dengan anak lain.

"Jalan tuh fokus. FOKUS!"

Alsava tersentak ketika tiba-tiba Aksa sudah berada di depannya dan berkata dengan suara keras.

"Udah fokus." jawab Alsava pelan.

"Ngelamun gitu dari tadi." jawab Aksa.

"Ngelamun gimana? Enggak."

DANADYAKSAWhere stories live. Discover now