DANADYAKSA | 53

18.4K 2.2K 196
                                    

Aksa membuka pintu rumahnya dengan wajah lelah. Fadil di gendongannya dan Mia di gandengannya.

"Kamu ganti baju dulu, Mi. Takut masuk angin," ujar Aksa pada Mia yang bajunya sudah basah gara-gara ulah Canon. Ia merasa tak terima ketika melihat keadaan Mia yang seperti itu.

Mia mengangguk, menuruti perintah Aksa untuk mengganti pakaiannya.

Aksa melepas topi cokelatnya lalu duduk di kursi kayu di ruang tamu. Dengan Fadil yang ikut duduk di sampingnya.

"Kasian Kak Mimi, Bang Aksa. Orang tadi jahat banget sama Kak Mimi," ujar Fadil yang bibirnya melengkung ke bawah. Masih sedih dengan kondisi Mia.

"Kalo kamu? Kenapa kamu nangis?" tanya Aksa menoleh ke arah Fadil.

"Loh? Kok Bang Aksa tau? Masih keliatan ya?" tanya Fadil dengan polosnya.

Aksa tersenyum, "Coba ceritain, Dil. Kenapa kamu bisa nangis sampe mata sama wajah kamu merah banget?"

Fadil terdiam, menimang apakah ia bisa menceritakannya atau tidak. Mia selalu bilang tidak usah menceritakan masalah ke Aksa, cukup dengan Mia saja. Takut jika Aksa terbebani dengan masalah mereka.

Kata Mia, "Kalo ada apa-apa cerita ke Kak Mimi aja ya, Dil? Nggak usah ke Bang Aksa. Bang Aksa udah banyak pikiran, kasian."

Oleh karena itu Fadil juga Mia jarang sekali berbagi masalah dengan Aksa. Jika memang Aksa tahu sendiri masalahnya.

"Dil?" tanya Aksa menyadarkan Fadil. "Coba cerita."

"Dua hari ini kan Lira sakit, Bang," ujar Fadil mulai bercerita. Mungkin, sekali-kali bercerita tidak apa-apa.

"Jadi Fadil main ke lapangan. Mau main bareng temen-temen. Tapi Fadil nggak ditemenin juga nggak apa-apa kok. Fadil bisa liatin mereka main," ujar Fadil. "Fadil tau Fadil nggak punya mainan banyak buat main."

Aksa mulai merasakan perasaan tidak enak ketika Fadil bercerita. Ia menatap Fadil serius.

"Tapi mereka malah ngejek Fadil. Bilang kalo Fadil orang miskin, nggak punya orang tua. Orang tua Fadil udah di tanah, udah jadi singkong. Gitu katanya," lanjut Fadil dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, ia sangat sakit hati.

Cowok bergelang hitam itu diam dengan pikiran yang berkecamuk. Kedua adiknya.. tak mempunyai teman dan menjadi korban perundungan. Sama seperti dirinya di masa SMP yang sangat menyedihkan. Dikucilkan karena orang tak punya.

"Mereka juga bilang Kak Mimi bisu karena nggak pernah ngomong. Kak Mimi bisa ngomong, suaranya Kak Mimi lembut banget. Tapi Kak Mimi emang pendiem," ujar Fadil.

"Mereka ngejek Fadil karena nggak ada yang nemenin kalo di sekolah. Padahal anak-anak yang lainnya ditemenin sama Ibunya. Fadil sendirian terus," lanjut Fadil mulai meneteskan air matanya. "Padahal Fadil juga pengennya ada yang nemenin. Fadil juga nggak mau Bapak sama Ibu meninggal."

Aksa beringsut mendekap Fadil. Dekapan erat yang menyalurkan kasih sayang, kekuatan juga rasa bersalah.

"Fadil malu nggak punya orang tua," ucap Fadil parau.

Aksa memalingkan wajah, tak kuasa menahan air matanya. "Maafin Bang Aksa nggak bisa jaga kamu, Dil.."

Fadil menggelengkan kepalanya, "Bang Aksa nggak salah, kok. Kenapa Bang Aksa minta maaf?"

"Harusnya Bang Aksa punya lebih banyak waktu buat kamu, Dil. Maaf Bang Aksa nggak bisa nemenin kamu pas sekolah," ujar Aksa pelan. Mendengar bahwa Fadil dan Mia tidak mempunyai lingkungan pertemanan yang bagus sungguh menyayat hati.

"Enggak apa-apa, lah! Bang Aksa kan juga kerja. Fadil baik-baik aja kok nggak ada yang nemenin. Masih ada Bu guru yang selalu ngajakin Fadil ngobrol," ujar Fadil tersenyum dan memasang wajah bahwa ia tidak apa-apa. Tidak ingin membuat Aksa merasa bersalah.

DANADYAKSAWhere stories live. Discover now