DANADYAKSA | 24

22.5K 2.8K 122
                                    

Kalo ada typo tolong koreksi dengan bahasa yang engga nyakitin, ya.

Bacanya pelan-pelan aja. Jangan cepet-cepet.

***

A

ksa duduk di tengah-tengah pusaran Ibu dan Bapaknya, tempat paling nyaman untuknya bercerita. Sudah lama ia tak berkunjung ke sini karena kesibukannya.

Selesai latihan ia langsung ke sini, tidak mampir ke gudang beras Pak Imran. Entahlah, tubuh dan pikirannya sangat lelah hari ini.

"Assalamualaikum, Ibu sama Bapak. Maaf Aksa baru bisa dateng. Soalnya Aksa sibuk. Beneran sibuk, bukan alasan atau pura-pura." Aksa menaburkan bunga di pusaran Ibunya.

"Aksa tiba-tiba kangen," ujar Aksa mengusap batu nisan Ibunya. "Mau nangis, tapi Aksa cowok. Kata Bapak, cowok nggak boleh nangis. Apalagi di depan perempuan, nanti keliatan lemah."

"Capek banget hari ini, Bu. Banget. Aksa belum bisa bawa Fadil sama Mia ke sini. Aksa nggak kuat." Aksa bercerita sembari memcabuti rumput-rumput kecil di sana.

"Tapi Fadil sama Mia udah besar. Fadil udah bisa mandi sendiri, main sendiri, ngaji juga sendiri. Pas Aksa sama Mia nggak ada, Fadil berani sendirian di rumah. Hebat pokoknya. Kalo Ibu masih ada, pasti bakal seneng liatnya," ucap Aksa tersenyum. Tiba-tiba dadanya sesak hanya dengan berkata demikian.

"Mia juga nggak kalah hebat. Bakal ikut olimpiade, kalo ada biayanya. Tapi Aksa masih usahain biar uangnya ada, dan harus ada," ujar Aksa.

"Ibu dulu pengen banget, kan, punya anak perempuan yang bisa bantu-bantu kerja rumah? Soalnya Ibu capek harus ngurus rumah sendirian. Kalo Ibu masih ada, pasti bakal seneng banget. Mia udah bisa kerja rumah. Yang masak, cuci baju sama bersih-bersih juga Mia semua. Tapi Mia sekolahnya tetep pinter, hebat banget pokoknya."

Aksa menarik nafas dalam. Tenggorokannya sangat sakit. Menahan apa yang sejak tadi ingin ia keluarkan. Tapi tak bisa.

"Ibuu," kata Aksa. Nadanya seperti anak kecil yang merengek kepada Ibunya.

"Aksa pengen Ibu." Aksa memeluk nisan Ibunya erat, tak mau lepas. Menggigit bibir bawahnya menahan tangis. "Doain Aksa biar kuat, ya, Bu. Aksa sayang sama Ibu."

Setelah mengatakan itu, Aksa berbalik badan menuju pusaran Bapaknya dan bersimpuh di depannya. Ia menangis di sana. Air mata yang tak pernah diperlihatkan kepada orang lain. Aksa menumpahkan apa yang selama ini ia tahan sendirian. Benar-benar sendirian. Beban dan tanggung jawab yang ia pikul sangat berat.

Aksa kembali menegakkan kepalanya dan mengusap air mata yang ada di pipinya, wajahnya merah.

"Bapak pengen punya anak atlet badminton, kan? Aksa hampir jadi, Pak. Aksa masih usaha biar Aksa bisa jadi atlet Badminton."

"Bapak liat ini." Aksa mengeluarkan raket kebanggaannya dan menunjukkannya di pusaran Bapaknya. Seperti benar-benar ada sosok Bapak yang selama ini ia rindukan di sini.

"Bapak dulu bilang 'Nanti kalo udah gede, kamu beli sendiri raket yang bagus, raket yang mahal. Biar bagus mainnya. Biar bisa jadi atlet.' Sekarang Aksa udah bisa, Pak. Aksa udah beli raket yang waktu itu Bapak Bilang."

Masih teringat jelas ketika Bapaknya mengatakan itu sambil tersenyum dan menunjukkan raket dari kayu buatannya dengan bangga. Ada pancaran harapan ketika beliau menyerahkan raket tersebut kepada Aksa. Raket pertama Aksa yang membuatnya cinta dengan bulu tangkis.

"Tapi Aksa nggak tahu bisa bertahan apa enggak."

"Bapak dulu juga bilang, Bapak pengen Aksa tetep sekolah. Aksa masih sekolah, Pak. Aksa masih berusaha buat tetep sekolah. Kalo dulu Bapak kerja nggak kenal waktu buat ngebiayain Aksa sekolah, sekarang Aksa yang usaha keras buat ngebiayain adek-adek Aksa sekolah."

DANADYAKSAWhere stories live. Discover now