DANADYAKSA | 08

27.8K 3K 61
                                    

Aksa melepas apron dan topi pelayan cafe yang melekat ditubuhnya. Jam kerjanya sudah selesai di jam 11 malam.

"Bang! Gue pulang duluan!" pamit Aksa pada teman kerjanya.

"Yoi, Sa! Hati-hati!" sahutnya.

Aksa melajukan sepeda motor beat hitamnya. Jalanan sangat sepi.

Cowok itu tidak langsung pulang melainkan ke pantai, malam-malam. Sepi dan sunyi. Aksa duduk di batu besar yang ada disana. Melihat bulan yang bersinar indah. Suara ombak yang bersahutan begitu menenangkan. Angin malam ia biarkan menerbangkan rambut hitamnya.

"Ibu sama Bapak lagi ngapain, ya." pikiran Aksa berkelana.

"Pasti Bapak sama Ibu sekarang ngeliat Aksa." ucap Aksa tersenyum.

"Kalo Bapak sama Ibu masih ada pasti seneng banget, anaknya udah gede." tatapannya kosong, berbeda dengan Aksa ketika disekolah dan di depan adik-adiknya.

"Aksa kangen sama Bapak sama Ibu." ucap Aksa tertahan. Air matanya mulai mengalir, mengingat bagaimana dulu Bapaknya membuatkannya raket dan mobil-mobilan dari kayu karena Aksa ingin bermain seperti teman-temanya tapi orang tuanya tak punya uang, bagaimana dulu Ibunya menjahitkan seragam sekolah untuknya hingga larut malam, bagaimana orang tuanya selalu berusaha menyenangkannya disaat ekonomi keluarga yang susah.

"Aksa rasanya mau nyusul Bapak sama Ibu, tapi gimana sama adek-adek Aksa nanti?" Aksa mengusap air matanya.

"Kata Bapak, cowok nggak boleh nangis. Tapi Aksa gabisa." dadanya semakin sesak.

"Gimana kalo Aksa udah nggak kuat? Gimana Mia sama Fadil." kata Aksa nyaris tak terdengar, menahan isakannya.

Aksa mendongakkan kepala. "Doain Aksa biar kuat kayak Bapak sama Ibu, ya. Biar Aksa bisa sekolahin adek-adek Aksa sampe perguruan tinggi, sampe jadi orang besar."

"Aksa nggak pa-pa kalo Aksa nggak punya masa depan. Tapi Fadil sama Mia harus punya. Masa depan mereka harus cerah."

Aksa menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan pada tekukan kakinya. Melepaskan semua beban dengan menangis. Ia tidak mungkin seperti ini di depan adik-adiknya.

****

Senyum Mingmei memudar kala melihat seorang laki-laki dengan senyum lebar menghampirinya dan juga Alsava yang saat ini tengah duduk di kantin.

"Wih, Va. Kangen gue nggak, lo?" tanya laki-laki tersebut masih tersenyum lebar, ikut bergabung duduk dengan keduanya.

"Delwin?" ucap Alsava melebarkan matanya.

Delwin mengangguk. "Long time no see, Alsava."

"Gue bawa oleh-oleh nih buat, lo. Gue jamin lo bakal suka. Itu barangnya cuman ada beberapa di dunia, limited edition. Lumayan mahal, sih, soalnya dari brand terkenal." ujarnya menyerahkan paper bag ke Alsava.

Gadis berkucir kuda itu memaksakan senyum. "Makasih, Delwin." ujarnya menerima paper bag tersebut.

Delwin menggeser kursinya lebih dekat dengan Alsava, tangan kiri Delwin bergerak merangkul pundak Alsava. "Lo pasti kangen, kan sama gue? Aduh, maaf banget gue perginya lama."

Alsava bergerak tak nyaman, mencoba melepaskan diri dari rangkulan Delwin. "Lepas, Win." pintanya.

Bukannya melepaskan, Delwin semakin merapatkan rangkulannya. Membuat Alsava semakin tak nyaman.

"Kalo Alsava bilang lepasin, ya lepasin kali. Nggak usah maksa gitu, lo." ujar Mingmei menatap Delwin dengan sirat penuh permusuhan. Ia amat sangat tak suka dengan laki-laki itu.

DANADYAKSAHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin