DANADYAKSA | 23

23.7K 2.7K 79
                                    


"Lo kok bisa kemaren nggak sekolah dan nggak ada kabar?" Ghani menyerang Aksa dengan pertanyaan yang terkesan menyudutkan. Apalagi dibarengi dengan raut muka Ghani yang tidak bersahabat.

"Turnamennya bentar lagi, Sa. Lo nggak bisa ngeremehin kayak gini. Lo kemaren kemana emangnya? Pelatih marah ke gue gara-gara elo. Nggak jadi latihan gara-gara elo. Mana rasa tanggung jawab lo? Harusnya lo ngabarin kalo nggak masuk sekolah kemarin. Bukannya diem aja!" titah Ghani.

Aksa meremas jarinya, "Gue minta maaf, Ghan. Kemarin gue ada perlu dan penting banget. Jadi nggak bisa masuk sekolah. Gue lupa juga buat ngabarin lo."

"Telat kalo lo baru minta maaf sekarang, basi. Nggak ada gunanya. Datengin pelatih langsung. Hari ini nggak latihan juga gara-gara lo," ujar Ghani.

Aksa diam mendengarkan apapun yang diucapkan Ghani. Ia mengakui jika dirinya salah. Mereka berdiri di pinggir lapangan luar. Tadi, Ghani tiba-tiba memanggilnya dan mengajaknya ke sini.

"Gue emang salah. Gue minta maaf. Tapi gue harap lo nggak benci sama gue," ucap Aksa. Ghani adalah partner bulu tangkisnya. Tentu Aksa dan Ghani saling membutuhkan. Dan Aksa tahu jika selama ini Ghani menahan ketidaksukaan terhadap dirinya.

"Kalo lo bukan partner gue, dari lama gue udah benci sama lo," ujar Ghani tajam lalu meninggalkan Aksa yang terdiam.

Aksa menatap punggung Ghani yang menjauh dengan perasaan yang campur aduk. Ia menghembuskan nafas panjang. "Yaudah, lah. Nggak pa-pa, emang gue yang salah juga."

Ketika hendak pergi, matanya tak sengaja menangkap Alsava yang berdiri kaku di balik pohon. Gadis berkacamata itu tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Aksa lalu keluar dari persembunyiannya. Dia berjalan menghampiri Aksa.

"Hai, Aksa!" sapa Alsava. Sebenarnya ia masih kaku karena kejadian yang lalu. Ini pertama kalinya ia berbicara dengan Aksa langsung setelah masalah tersebut. Meskipun Aksa bilang dia sudah memaafkan Alsava, tapi tetap saja Alsava merasa tidak enak.

"Gue tadi nggak sengaja denger omongan lo sama Ghani," aku Alsava. "Gue tadi habis dari perpus terus lewat sini dan sempet denger beberapa omongan lo sama dia."

Aksa diam, duduk di bangku kayu yang ada di sana dan diikuti oleh Alsava juga.

"Lo.. nggak sakit hati, gitu?" tanya Alsava hati-hati.

"Sakit hati gimana?" tanya Aksa.

"Tadi dia ngomongnya kasar banget. Nyelekit. Gue kalo jadi lo udah kena mental duluan dah. Apalagi gue anaknya baperan, dikit-dikit kepikiran. Pasti udah nangis," ujar Alsava.

"Enggak, lah. Emang yang diomongin sama Ghani itu bener, dia negur gue. Ngapain sakit hati? Gue juga yang salah karena kemarin nggak ngasih tau dia kalo gue nggak masuk sekolah," balas Aksa.

"Tapi dia sampe ngomong benci gitu, Sa. Apa nggak keterlaluan? Menurut gue itu bukan negur lagi, tapi nyari masalah," ujar Alsava.

"Nyari masalah atau enggak itu tergantung gue nangkapnya kayak gimana. Menurut gue, dia nggak nyari masalah. Dia jujur kalo dia benci sama gue," jawab Aksa. "Lagian siapa di sekolah ini yang nggak benci sama gue? Orang yang nggak kenal sama gue juga pasti benci sama gue."

"Kok sampe segitunya?" kata Alsava sedih. Mental Aksa ini menurutnya kuat sekali. Tidak disukai oleh banyak orang tapi dia tetap percaya diri dan menanggapi dengan positif.

"Aksa lo beneran nggak sedih? Lo nggak disukai banyak orang, loh!" ujar Alsava.

"Bagian mananya yang harus buat gue sedih? Buang-buang waktu aja. Mereka juga nggak tau gue aslinya kayak gimana. Asal ngomong, ikut-ikutan doang."

DANADYAKSAWhere stories live. Discover now