DANADYAKSA | 27

22K 2.7K 132
                                    


"Katanya Hafis, Fadil harus bisa punya sepeda dulu. Baru Hafis mau temenan sama Fadil." Fadil berkata kepada Mia yang tengah sibuk belajar. Keduanya berada di kamar Mia. Mereka hanya berdua sedangkan Aksa bekerja malam ini.

"Kak Mi!" sentak Fadil karena Mia hanya mengabaikan perkataannya.

"Eh? Kenapa, Dil?" Mia menghentikan aktivitasnya dan menoleh ke arah Fadil.

"Katanya Hafis, Fadil harus punya sepeda dulu, baru ditemenin," ulang Fadil.

"Sepeda kayak gimana?" tanya Mia pelan.

"Sepeda onthel kayak punyanya Hafis, Kak Mi. Semua temen-temennya Fadil punya, cuma Fadil doang yang nggak punya. Sampe Fadil nggak diajak main gara-gara nggak punya sepeda," ujar Fadil.

Mia diam, kepalanya menunduk tak tahu harus menjawab apa. Ia tahu, Abangnya sedang sulit keuangan akhir-akhir ini. "Nanti kalo Bang Aksa punya rezeki pasti dibeliin kok, Dil. Tapi kamu jangan bilang-bilang dulu sama Bang Aksa kalo kamu pengen sepeda. Sekarang Bang Aksa lagi nggak punya uang. Apalagi bentar lagi Bang Aksa ada turnamen. Kasian kalo Bang Aksa kepikiran."

Fadil berdecak tak terima, "Kapan, Kak Mi? Fadil nggak pernah diajak main. Fadil juga pengen ikut main tapi nggak pernah diajak gara-gara nggak punya sepeda! Fadil cuma mau sepeda aja, kok, nggak banyak."

"Iya, Dil. Kak Mimi ngerti. Tapi sekarang Bang Aksa lagi nggak punya uang. Sabar, ya?" bujuk Fadil.

"Boong! Kemarin aja Bang Aksa punya uang buat bayar olimpiade nya Kak Mimi, masa sekarang udah habis? Emang Bang Aksa tuh sayangnya cuma sama Kak Mimi doang!" ujar Fadil mengutarakan kekesalannya lalu pergi ke ranjang kamar tidur Mia untuk tidur.

Mia menatap Fadil sedih, apakah selama ini Mia membuat Fadil merasa seperti itu? Jika saja ia tak ikut olimpiade itu, mungkin Fadil bisa membeli sepeda yang ia inginkan.

****

"Abang cuma beli satu bungkus, dibagi dua, ya?" kata Aksa. Aksa hanya membeli satu bungkus nasi untuk sarapan. Mia tak ada waktu untuk memasak tadi pagi.

"Abang lagi nggak punya uang. Jadi kita hemat untuk sementara waktu. Nanti kalo Abang udah punya uang, kita bisa makan enak lagi," ujar Aksa. Dia hanya bekerja di cafe beberapa hari ini. Ia tak bisa bekerja seusai pulang sekolah karena waktunya tak cukup, sibuk mempersiapkan turnamen yang sebantar lagi akan berlangsung. Sedangkan kebutuhan semakin banyak. Hutang pada rentenir juga sebentar lagi jatuh tempo.

"Bang Aksa nggak sarapan? Kok cuma beli satu?" tanya Mia.

"Abang masih kenyang. Kamu makan sama Fadil aja," balas Aksa.

"Kok gitu, Bang? Emangnya Bang Aksa nanti nggak latihan? Bang Aksa kuat kalo nggak sarapan?" tanya Mia.

"Kuat, dong. Lagian Bang Aksa nggak laper," jawab Aksa. "Kamu cepetan makan, Fadil juga. Abang mau siap-siap dulu." Aksa hendak pergi namun terhenti ketika mendengar panggilan dari Fadil.

"Kenapa, Dil?" tanya Aksa.

Mia menggeleng menatap Fadil, was-was jika Fadil mengatakan sesuatu yang bisa membuat Aksa semakin terbebani.

"Ayo makan dulu, Dil. Nanti aja ngomongnya sama Bang Aksa," ucap Mia cepat, mencoba mengalihkan perhatian Fadil.

"Fadil mau sepeda, Bang," kata Fadil frontal. Tak mempedulikan ucapan Mia.

DANADYAKSAWhere stories live. Discover now