DANADYAKSA | 38

23K 2.7K 405
                                    


"Lo itu nggak pantes sama Alsava, Sa."

"Harusnya lo udah tau, sih. Tapi gue ingetin aja."

Aksa menatap Delwin tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

"Ya, lo tau sendiri, lah. Alsava itu dari keluarga terpandang. Emangnya siapa sih yang nggak kenal sama bokapnya Alsava? Orang-orang pun pasti tahu sama seorang Wibowo. Pengusaha tambang yang terkenal dimana-mana. Apalagi di kalangan pengusaha. Nggak usah lo tanya popularitas bokapnya Alsava," ucap Delwin. "Tambangnya di Kalimantan, bro. Gede! Bukan abal-abal."

"Lo nggak tau, kan, kalo bokapnya Alsava pengusaha tambang?" tanya Delwin yang lagi-lagi dengan nada tidak enak didengar.

Benar. Aksa tak tahu jika keluarga Alsava sekaya itu. Ia kira hanya sebatas kaya. Karena Alsava tak pernah bertingkah seperti remaja yang sangat kaya. Tapi dari cerita Delwin, Aksa bisa menyimpulkan jika keluarga Alsava sangat kecukupan. Harusnya Aksa bisa tahu hanya dari gaya rumah Alsava dan gerak-geriknya.

"Selain kaya, latar belakang keluarga Alsava itu juga sangat berpendidikan. Nyokapnya Alsava lulusan Stanford University. Tau sendiri kalo lulusan sana nggak main-main."

"Sedangkan lo?" tanya Delwin menatap Aksa dengan tatapan tak yakin. "Hidup aja serba kurang. Nggak ada juga yang kenal sama keluarga lo."

"Kalo Alsava sama lo, mau lo kasih makan apa?" tanya Delwin terkekeh merendahkan.

Aksa tak menjawab apapun, sibuk mencerna perkataan Delwin.

"Ibaratnya nih, ya. Alsava bakal sakit kalo hujan soalnya pulang bareng sama lo yang pake motor. Motor tua lagi. Kalo sama gue mah aman. Pake mobil soalnya."

"Jangan pernah mimpi buat dapetin Alsava, deh, Sa. Lo ngurus diri lo sama keluarga lo aja belum bener."

"Lo lihat, Sa. Cowok mana yang nggak mau sama cewek sesempurna Alsava." ucap Delwin menunjuk Alsava yang tengah berbicara dengan adik kelas. Alsava tersenyum begitu ramah.

Aksa mengikuti arah pandang Delwin. Perempuan sesempurna Alsava... apakah bisa bersamanya?

"Daripada sama lo yang kismin, mending sama gue yang hidupnya udah terjamin," ujar Delwin angkuh. "Gaya hidup gue sama Alsava juga sama. Lo mah nggak ada apa-apanya."

"Lo mau milikin Alsava? Mimpi jangan ketinggian, deh. Orang tuanya Alsava juga pilih-pilih kali. Nggak kayak di film-film yang bakal milih orang baik meskipun miskin."

"Realistis aja, sih. Kaya lebih utama."

Delwin tersenyum penuh kemenangan melihat Aksa yang tak bisa menjawab apa-apa. Dari cara Aksa menatap Alsava saja Delwin sudah mengetahui betapa Aksa sangat menyukai Alsava. Apalagi respon Alsava yang sangat baik jika bersama Aksa. Berbeda jika bersamanya, Alsava akan cuek dan terkesan tidak peduli.

"Nggak maksud apa-apa, sih, bro. Ngingetin aja," tutur Delwin menepuk bahu Aksa dua kali.

"Biar makin sadar diri. Lo siapa dan Alsava siapa." sambungnya lalu pergi.

Aksa terus memperhatikan Alsava. Yang dikatakan Delwin tak salah. Memang betul seperti itu. Aksa tak bisa marah karena kenyataannya, hidup Aksa dan Alsava sangat berbeda.

*****

Aksa bersiap mengangkat tumpukan buku di depannya dari kelas menuju perpustakaan. Diperintah oleh Baginda Ratu Tutik sebagai hukuman Aksa karena tak mendengarkan penjelasan beliau selama pelajaran.

Ya bagaimana mau mendengarkan, ngomong saja nggrumeng.

"Semangat, beb! Itu emang berat banget. Nanti kalo nggak kuat, dedek bantuin," ujar Bastian menggoda Aksa.

DANADYAKSAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt