18. Perhiasan Yang Layak

192 66 40
                                    

Helena tengah berpangku tangan memperhatikan air mancur yang berada di taman. Gadis itu sedang terduduk di balkon kamarnya, dengan secangkir teh hangat dan beberapa biskuit di meja yang masih belum ia sentuh hingga sekarang.

Masih ada beberapa jam luang bagi Helena untuk bersantai. Banyak hal yang gadis itu pikirkan, sangat banyak, cukup untuk membuat kepalanya berisik.

Hingga sebuah ketukan pintu terdengar, seorang pelayan berkata bahwa itu adalah Bill, kakaknya. Helena mengangguk mempersilakan pelayan itu untuk membukakan pintu.

Dalam hati, Helena bertanya-tanya apa alasan kakak laki-lakinya itu tiba-tiba berkunjung ke ruangannya. Sudah beberapa hari ini Helena tidak banyak berbincang dengan Bill, mungkin saja saudaranya itu merasa sedikit rindu, Helena tidak tahu.

Emily menunduk tatkala langkah kaki Bill mendekat, lelaki itu langsung mengambil kursi untuk duduk di hadapan Helena, beberapa pelayan langsung menghampiri hendak memberikan secangkir teh pada Putra Mahkota Lindsey itu, tetapi Bill justru menolak dan berkata bahwa ia tak akan terlalu lama di sini.

Helena tersenyum tipis, begitu pun Bill, "Ada apa, Kak?"

Bill menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, ia menatap pemandangan halaman Istana dari atas balkon, mengambil napas dalam-dalam kemudian tersenyum tipis pada Helena, "Tidak ada apa-apa. Hanya ingin melihatmu saja,"

Helena mengangguk, ia mengambil cangkir berisikan teh miliknya dan meminumnya perlahan. Bill hanya memperhatikan gerak-gerik Helena sembari tersenyum miring.

"Tidakkah rasanya sepi semenjak Pangeran Jeffrey pulang?" tanya Bill tiba-tiba, hampir membuat Helena tersedak.

"Ya?"

"Entahlah. Rasanya tenang. Biasanya aku hampir seharian menemaninya, kali ini aku cukup bosan." Bill menyilangkan kakinya, tersenyum menatap lamat-lamat mata Helena.

"Entahlah, rasanya tenang. Persis seperti hari-hari pada umumnya."

Hening di antara keduanya. Bill sama sekali tidak menyentuh biskuit yang berada di hadapannya. Kehadiran lelaki itu seolah memang hendak membahas sesuatu.

"Bagaimana kabar Rafaelt?"

Helena hampir saja membelalakkan mata mendengar pertanyaan Bill yang amat tiba-tiba itu. Lebih mengejutkan dibandingkan pertanyaan mengenai Jeffrey yang tadi.

"Aku pernah melihat. Di hari ketika Pangeran Jeffrey masih di sini. Seekor merpati terbang dekat balkon ini, kemudian tak lama kembali pada pemiliknya, Rafaelt," sambung Bill.

"Benarkah?"

"Ya, benar. Kau membuka pintu dan menerima sepucuk surat dari kaki merpati itu. Aku tak ingin tahu apa isinya," ujar Bill berhasil membuat Helena pucat pasi.

Gadis itu menarik napas dalam, kemudian menatap tepat pada mata kakaknya itu, "Aku memiliki beberapa urusan dengannya. Dan syukurlah, itu sudah selesai."

"Begitukah? Bagus," respon Bill, tatapan lelaki itu kemudian berhenti pada jemari Helena. Menyadari tatapan sang kakak, Helena langsung menyembunyikan jemarinya. Bill pasti merasa ada hal asing melekat pada jemari adiknya, dan Helena tak ingin lagi-lagi dibuat panik dan terkejut oleh pertanyaan kakaknya itu.

Sebelum bangkit dari duduknya, Bill melirik ke arah Emily yang sedari tadi berdiri di pojok, ia memberikan isyarat pada pelayan pribadi adiknya itu untuk memberi waktu bagi kedua kakak beradik itu.

Bagi Bill, Helena benar-benar adiknya, tak peduli meskipun mereka tidak berbagi darah yang sama. Bill harus menganggap Helena demikian.

Setelah kehadiran Emily telah pergi, Bill kembali menatap Helena, gadis itu membuang pandangannya entah ke mana, jelas merasa tak nyaman dengan kehadiran kakaknya itu.

THE AUDUMA MASKEN : A Secret From Dellway ✔Where stories live. Discover now