33. Obat Dari Selain Tabib

141 38 13
                                    

Andreas sedang berkutat dengan beberapa perkamen ketika Ophalia yang tengah terlelap tiba-tiba terperanjat dari tidurnya. Gadis itu berkeringat, wajahnya pucat, napasnya tidak teratur, bisa dipastikan bahwa Ophalia baru saja mengalami mimpi buruk.

Andreas menoleh ke arah Ophalia, "Mimpi buruk lagi?"

Ophalia mengangguk pelan. Gadis itu mengusap rambutnya ke belakang. Sudah dua hari sejak pengeksekusian Vincent dan Aston, dan sudah dua kali juga Ophalia mengalami mimpi buruk.

Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya, duduk di salah satu kursi dan meneguk air minumnya sembari melirik ke arah Andreas. Sudah lebih dari tiga jam lelaki itu terus berkutat pada perkamen-perkamen tersebut.

"Apa yang kau lakukan pada perkamen itu?" tanya Ophalia berhasil membuat Andreas menoleh sekilas.

"Sir Flitz memintaku untuk memeriksa perkamen ini," jawab Andreas.

Lelaki itu terdiam sejenak, kemudian membalikkan badannya menghadap Ophalia. Keduanya kini saling duduk berhadapan, "Mungkinkah kau terus bermimpi buruk karena menonton pengeksekusian? Mungkin kau trauma atau sejenisnya ..."

"Entahlah. Di mimpi itu aku menjadi buronan," ucap Ophalia, gadis itu menunduk memandangi jari jemarinya.

"Buronan?"

Mengangguk, Ophalia mendongak, "Aku bukan memimpikan pengeksekusian. Aku hanya melihatnya sekilas, dan aku tidak trauma akan hal itu ...."

"Lalu apa maksudmu kau bermimpi menjadi buronan?"

Ophalia mengedikkan kedua bahunya, "Aku tidak tahu. Yang jelas mimpi itu membuatku takut, Roseline mencariku ke seluruh negeri." jawabnya, kemudian beranjak dan kembali ke tempat tidurnya.

Andreas menunduk, itu adalah mimpi yang amat buruk.

Sebelum Ophalia kembali tidur, gadis itu jadi teringat sesuatu, "Kemarin Robin mencarimu. Ada apa?"

Andreas terkekeh, kemudian kembali membalikkan badannya menghadap meja, "Ia khawatir ia akan dihukum. Kau tahu? Adalah hal yang wajar jika beberapa orang merasa sedikit paranoid setelah melihat-" Andreas kemudian mengedikkan kedua bahunya, sebagai bahasa lain dari menyebut kata 'pemenggalan'.

Mendengar hal tersebut, Ophalia menatap Andreas lama. "Lalu? Kau bilang apa pada Robin? Dia pasti panik, kan."

"Betul. Dia sangat panik, dia bahkan hampir menangis. Jika kau ada di sana mungkin dia akan benar-benar menangis," jawab Andreas tersenyum miring, ingat bagaimana Robin tiba-tiba mendatanginya dengan raut muka pucat pasi sekaligus panik bukan main.

Lebih tepatnya semalam, Andreas sedang duduk seorang diri di dekat api unggun ketika Robin dengan ragu-ragu mendekatinya secara pelan. Andreas yang menyadari keberadaan Robin menoleh dan langsung bertanya apa yang Robin ingin bicarakan. Pemuda itu tampak tersentak, kemudian tiba-tiba berlutut di dekatnya, dengan tatapan memohon Robin menjelaskan ketakutannya.

Andreas hanya diam mendengarkan semua perkataan Robin. Pemuda itu cukup merasa cemas sejak hari di mana Vincent dan Aston dieksekusi dengan dipenggal kepalanya di lapangan yang sama di mana sidang berlangsung. Pada tengah malam di hari yang sama juga, seluruh penghuni yang tinggal di Kamp berkumpul menyaksikan hukuman mati terhadap para pengkhianat negara tersebut.

Andreas hanya menontonnya dari kejauhan seorang diri. Ia tidak tahu di mana Ophalia apalagi Robin. Tapi bisa disimpulkan bahwa Robin melihat dengan jelas proses pemenggalan dari kedua pengkhianat itu, sehingga pemuda itu menjadi cemas dan takut bukan main.

"Tuan, saya telah melakukan kesalahan. Saya membantu Tuan Vincent, Tuan Clovis, dan Tuan Aston. Saya terlibat pengkhianatan tersebut. Bagaimana ini, Tuan? Apa saya akan dihukum juga? Saya tidak mau dihukum Tuan. Saya tidak bermaksud mengkhianati Kerajaan ..." ucap Robin saat itu memelas meminta bantuan pada Andreas.

THE AUDUMA MASKEN : A Secret From Dellway ✔Where stories live. Discover now