66. Sekeping Pengalaman

82 29 3
                                    

Rasanya cukup gila jika menyadari apa yang tengah Helena lakukan sekarang ini.

Matahari sudah hampir terbit dan Helena masih terus berjalan kaki menyusuri kota Eireen tiada henti sejak tengah malam tadi ia memutuskan untuk pergi meninggalkan Istana secara diam-diam.

Dengan bahasa lain, gadis itu nekat untuk kabur.

Cukup melelahkan sebenarnya, Helena akui. Ini adalah perjalanannya yang paling jauh apalagi hanya ditempuh dengan berjalan kaki. Gadis itu terus menerus menyusuri jalanan ibu kota, hingga tiba dan melewati beberapa desa juga padang rumput yang luas serta beberapa rumah rakyat pinggiran kota.

Bintang bersinar, begitu memukau, kerlap-kerlip mengiringi langkah Tuan Putri tersebut dalam sunyi. Sedangkan pikiran Helena terus menerus melanglangbuana pada pikiran mengambang tiada jejak tetapi menenangkan membuat rasa sakitnya sedikit kebas.

Hingga tak sadar, langit yang semula gelap, menyelimuti langkah kaki gadis berjubah tersebut dalam kegelapan perlahan berubah semakin memudar, ditembus oleh cahaya fajar dari arah timur yang terus menerus merangkak naik, memberi tahu malam bahwa kini gilirannya. Memberi tahu semesta bahwa masa tidur sudah berakhir, dan aktivitas bisa kembali dikerjakan.

Helena menghentikan langkahnya sejenak, ia menoleh ke belakang, merasa tak menyangka telah berjalan sejauh ini. Kakinya baru terasa pegal sekarang, tetapi kembali pun percuma, tak mungkin, dan tak mau.

Istana megah milik Lindsey yang berwarna putih itu sudah tak lagi tampak sejak beberapa jam yang lalu. Degup jantung gadis itu semakin memompa hebat. Kurang dari sejam lagi, Emily pasti akan tiba dan mengetuk pintu kamar Helena yang sudah tak lagi terkunci, lalu Istana pun akan dibuat geger.

Helena harus kembali berjalan. Segera meninggalkan Ibukota Eireen. Mungkin sekitar beberapa kilometer sampai gadis itu bisa memasuki kota Adenna, salah satu kota yang bersebelahan dengan Varisha. Masih menjadi bagian dari Lindsey, tetapi kedua kota itu berbatasan langsung dengan Dellway.

Helena akan menjadikan pelariannya ini sebagai pencarian jawaban dari rasa penasarannya. Jika ingin pergi jauh, setidaknya ia harus meninggalkan negeri ini, bukan? Dan tentu saja, negeri terdekat dari Lindsey hanyalah Kleypas, dan Dellway.

Mengingat niatnya untuk mendatangi Dellway, senyum tipis pun merekah pada bibir Helena. Gadis itu tak peduli meskipun kakinya sudah pegal akibat langkah yang terus ia paksa maju, sembari sesekali mengusap peluh yang turun pada pelipisnya.

Ini gila.

Helena sepertinya sudah gila.

Tubuhnya tidak terbiasa dengan perjalanan sejauh ini. Tetapi rasa pegal dan letih yang ia rasa justru tak sebanding dengan sesak dan sakit yang ia rasakan selama ini.

Justru pada setiap langkah yang Helena ambil demi meninggalkan Istana, gadis itu seolah menghirup udara kebebasan baru, kesembuhan yang sedikit demi sedikit bisa menyamarkan dan memudarkan rasa sakitnya.

Matahari terus naik. Langit hitam bertabur bintang perlahan memudar, berganti menjadi biru muda dengan cahaya kuning hasil dari terbitnya matahari.

Helena menghentikan langkahnya kembali, mengambil persediaan air yang ia bawa dari ranselnya. Gadis itu hanya membawa tempat air yang terbuat dari kulit lembu berukuran besar yang justru hanya tersisa beberapa teguk.

"Ah, sudah habis ..." gumam gadis itu setelah teguk terakhirnya. Helena lalu meneguk salivanya, masih merasa haus, tetapi apa daya tak ada sumber air terdekat.

Sedikit lagi. Sedikit lagi.

Pasti di Adenna ada air, Helena harus bertahan sedikit lagi. Ini memang mengejutkan, dan ia mungkin sulit untuk terbiasa pada hal ini. Tetapi Helena harus bertahan.

THE AUDUMA MASKEN : A Secret From Dellway ✔Where stories live. Discover now