Naughty Cutie Boy III

2K 367 93
                                    

Felix itu bukan berandal. Berapa kalipun ia melabeli dirinya, ia tidak akan pernah menyebut dirinya sendiri dengan kata berandal. Lalu apa sih yang orang lain lihat sampai bisa menyebutnya begitu?

Karena ia sering ikut tawuran? Oh ayolah, ia bahkan selalu pulang dalam keadaan wajah yang bersih mulus seperti biasanya. Ia tidak ikut tawuran, tapi hanya menjadi penonton setia di atas pohon yang ia panjat di setiap lokasi keributan. Kenapa? Tentu saja iseng. Katanya seru, seperti menonton film action secara live.

Lagipula meskipun ia pemegang sabuk hitam taekwondo, ia tak pernah berminat menghabiskan tenaganya untuk baku hantam tidak jelas dan membuat tubuh mulusnya luka-luka. Sakit juga, kan.

Soal ia yang sering terciduk polisi, itu karena ia sedang sial saja. Di saat yang lain sudah lari tunggang langgang, maka Felix masih merangkak turun dari pohon.

Lalu apa lagi? Pencurian? Felix sudah bilang, ia tidak mencuri. Ia membelinya tapi dengan cara yang eksentrik. Kalau bisa dengan cara yang susah, kenapa memilih yang mudah?

Apa lagi? Soal ia yang diseret polisi dengan wajah memar? Oh, dia hanya melindungi dirinya sendiri dari orang jahat. Kelihaiannya dalam bidang taekwondo hanya akan ia gunakan ketika terdesak. Dan kenapa ia yang disalahkan? Karena ia hanya bungkam tanpa memberikan penjelasan. Jika ditanya alasannya hanya diam, maka jawabannya hanya satu— ia sudah lelah perkataannya tak dipercaya. Jika sudah begitu, bukankah lebih baik bungkam saja?

Felix itu bukan berandal. Ia hanya... Mencari perhatian dan kasih sayang.








"Bibi.. Aku pulang!"

Felix berteriak dengan semangat ketika kaki kecilnya melangkah memasuki rumah. Changbin mengikuti di belakang dan mengedarkan pandangan, sepi. Rumah sebesar itu namun terlihat tak berpenghuni.

Terlihat dari dalam seorang wanita paruh baya yang berlari kecil menuju ke arah mereka. Di wajahnya terlihat jelas guratan khawatir menatap sang majikan pulang dalam keadaan berantakan.

"Den Felix kenapa bisa begini?" Tanyanya dengan penuh kekhawatiran.

"Hehe tenang Bi, hanya terpeleset dan jatuh ke selokan," jawab anak itu dengan jenaka.

"Bibi ambilkan kotak obat dulu ya? Ini harus segera diobati."

"Alkohol dan kapas saja Bi, salepnya sudah ada. Dibelikan kakak tampan ini," ucapnya dengan cengiran lebar dan jarinya yang menunjuk wajah Changbin dengan tidak sopan.

Wanita paruh baya disana ikut menatap ke arah lelaki di samping majikannya dan ia bertanya-tanya siapa lelaki itu. Namun itu tidak penting untuk sekarang, wanita itu segera mengangguk dan pergi dari sana.

"Ayo masuk. Anggap saja rumah kakakku," ajak bocah itu dan melangkah terlebih dulu ke arah ruang tamu.

"Duduk kak. Mau minum apa?" Tanyanya baik-baik. Saat Changbin baru membuka mulut, anak itu sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya, "tapi ambil sendiri ya? Tidak boleh jadi pemalas."

Ok. Changbin sudah terlatih menjadi sabar jika menghadapi bocah di sampingnya. Ia hanya mengangguk sekenanya.

"Kakak sejak kapan jadi polisi? Kenapa tidak jadi idol saja?"

"Kenapa kau mulai memanggilku kakak?" Tanya lelaki itu tanpa menanggapi pertanyaan Felix.

"Pak polisi mau aku panggil om?"

Changbin memicing tidak suka dan berseru protes, "tentu saja tidak!"

"Ya sudah."

Changbin mendengus. Bagaimana bisa dirinya yang seorang polisi handal bisa selalu kalah adu argumen dengan seorang bocah ingusan seperti Felix.

Beberapa saat kemudian wanita paruh baya tadi kembali ke ruang tamu dengan membawa alkohol dan juga kapas di tangannya, sesuai permintaan Felix.

"Sini Den Felix biar Bibi obati," kata wanita itu sembari mendekat ke arah Felix.

Anak itu menggeleng, lalu mengambil alkohol dan kapas dari tangan wanita itu, "aku mau obati sendiri saja, Bibi tolong siapkan makanan ya. Yang banyak dan enak karena hari ini aku tidak makan sendiri," ucap Felix semangat dengan senyum lebar di wajahnya. Wanita itupun mengangguk dan segera pergi dari sana.

Changbin diam mengamati, anak di sampingnya itu terlihat kesepian dan juga rapuh meski senyum bertengger di wajahnya. Rasanya tangannya ingin bergerak merengkuh badan kecil itu namun ia menahannya. Lamunan Changbin buyar ketika Felix menyerahkan alkohol dan kapas ke tangannya.

"Bantu obati dong, Kak."

"Katanya mau obati sendiri?"

"Ya sendiri, bersama kakak. Kan aku belum selesai bicara tadi."

Changbin sudah tak mau protes lagi dengan pikiran ajaib Felix, dengan segera ia menuangkan alkohol ke kapas dan setelahnya mendekat untuk mengobati luka di wajah Felix. Tangannya bersentuhan langsung dengan kulit mulus anak itu membuat sesuatu di dadanya bergemuruh hebat. Matanya lekat menatap wajah manis Felix yang kini tak ada lagi senyum jenaka disana.

Mereka berpandangan cukup lama sampai Changbin terlebih dulu memutus kontak mata dan segera melanjutkan mengobati luka Felix.

"Selain Bibi, Kak Chan, dan Hyunjin, hanya kakak yang mau berbaik hati dan percaya padaku," gumam anak itu pelan membuat pergerakan tangan Changbin terhenti.

"Rasanya menenangkan, seperti aku mendapat kekuatan baru," lanjutnya dengan senyum tipis yang sangat manis.

"Hihi aku bicara apa sih. Ayo, Kak lanjutkan."

"Hentikan," ucap Changbin dengan suara rendah membuat senyum di wajah Felix luntur.

"Ya?"

"Berhentilah sok kuat, hatimu itu bukan batu yang kokoh. Bahkan batu pun bisa hancur, lalu bagaimana denganmu?" Ucapnya menatap lurus ke dalam mata Felix yang terlihat bergetar. Anak itu hampir saja runtuh, namun dengan segera ia mengedip lucu dan mengibaskan tangan di depan wajah sembari terkekeh pelan.

"Pak polisi bicara apa sih? Jangan serius seperti itu ah, seram tau."

"Felix."

"Ayo cepat lanju- mphh."

Felix terkejut ketika tiba-tiba Changbin membungkamnya dengan bibir lelaki itu. Ia mendorong pelan dada Changbin namun lelaki itu justru merengkuh pinggang kecilnya dan menarik tengkuknya untuk memperdalam ciuman. Felix terbuai, ia mulai memejamkan mata dan ikut bergerak melumat pelan bibir Changbin.

Rasanya hati Felix sedikit lega, namun juga sesak di waktu yang sama. Tembok yang ia bangun kuat-kuat selama ini terasa runtuh perlahan seiring dengan lumatan yang Changbin berikan. Akhirnya ia biarkan tembok itu roboh beriringan dengan kristal bening yang mulai membasahi wajahnya.

Changbin bisa merasakannya, rasa asin air mata di dalam ciumannya, namun ia tak akan melepas. Hanya sampai pemuda manis di dalam dekapannya itu mengeluarkan segala beban di hatinya.

Beberapa saat mereka terus berpagutan, sampai yang lebih tua terlebih dulu melepas ciumannya dan merengkuh badan kecil Felix yang bergetar karena menangis.

"Menangislah dan keluarkan segala kesedihan yang membebanimu," ucapnya pelan sembari mengeratkan pelukannya.

Terkadang, yang orang butuhkan hanyalah pelukan. Tak perlu kata-kata penenang yang cukup panjang, hanya ucapkan 'aku percaya padamu' saja sudah bisa membuat hati terasa tenang. Iya, terkadang kebahagiaan seseorang hanya terletak pada satu hal yang orang lain anggap sepele. Tapi apa salahnya? Bukankah setiap orang berhak bahagia dengan caranya masing-masing?

Changbin akan berusaha, membahagiakan satu orang yang kini sudah masuk ke dalam hatinya.










Lee Felix.
Menangis bukan berarti lemah. Itu hanyalah cara untuk mengungkapkan rasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata.











Utang lagi deh, biar tuntas sampai ke akar. Nggak bosen kan? Hehe

Three Words [ChangLix] Where stories live. Discover now