10 - 7: Keterampilan Baru

162 9 1
                                    

Bonghwan sedang mengajari Manbok cara menggunakan pengocok tangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bonghwan sedang mengajari Manbok cara menggunakan pengocok tangan. Dia juga memberi sedikit ceramah tentang sesuatu, “Dasar dari masakan Barat adalah saus dan dressing, dan dressing masakan Barat yang paling utama adalah bunga. Nah, coba kocok.”

Manbok mencoba mengocok bahan untuk membuat saus, dan, pikirnya, “Wah, dengan ini, apakah bisa kita juga membuat tarak dari kacang?”

Bonghwan tidak memberinya jawaban. Dia malah bertanya begini, “Ngomong-ngomong, kenapa kau belum menikah?”

Dayang Choi, yang sedang ditugasi mengipasi teko masak, juga penasaran tentang itu. Diam-diam dia menguping tanpa ketahuan Hong Yeon yang mengipasi teko masak juga di sampingnya.

Manbok malu-malu. Katanya, “Hihi. Saya terlalu keras bekerja, sehingga melewatkan masa itu.”

“Kalau orangtua dan saudaramu?” Bonghwan terus mengobrol.

“Banyak umat Katolik yang dibunuh pada Peristiwa Gihae, dan mereka salah satunya. Saya kehilangan semuanya ketika itu.”

Oh, Dayang Choi iba; pun dengan Pemasak Ji dan Pemasak No yang baru kali ini mendengar juru masak mereka menceritakan kisah hidupnya yang perih. Seisi dapur jadi terdiam karena duka.

Manbok menghela, “Ah, mengapa mereka harus percaya pada hal-hal seperti itu? Karenanya, saya tidak mau mempercayai apa pun lagi semenjak itu.”

Dayang Choi turut bersedih.

“Peristiwa Gihae, ya? Hmm, kau pasti kesepian selama ini,” Bonghwan tak henti menunjukkan iba.

Manbok berkata, “Bukan hanya saya yang seperti itu; tapi, memang, rasanya sangat sepi jika di hari libur, dan sisi baiknya hanyalah … mereka ‘pergi’ di hari yang sama sehingga saya hanya perlu mengadakan Upacara Peringatan Kematian sekali setahun saja. Hmhmhmh. Hmhmh.”

Oh? Untuk sesaat, Bonghwan ingin mengatainya ‘gila’, tapi … kisah itu sangat sedih! Pemasak Ji dan Pemasak No pun harus menguatkan diri agar tidak berair mata, sementara Dayang Choi termenung perih dan Hong Yeon memasang muka sedih.

“Aey, kalian ini kenapa sih? Jangan begini dong, aku kan paling gak tahan sama bau asin!” Bonghwan menyibukkan diri mengurus adonan.

Manbok mengendus-endus, “Bau asin?” dia tidak menciumnya.

“Maksudnya, kalau seorang koki bersedih, kan, nanti makanannya jadi asin.”

“Ooh, paham, paham, paham,” Manbok mengerti. Katanya, “Karena itulah, sebelum memasuki pintu Dapur Istana ini, saya selalu senantiasa meninggalkan segala perasaan; baik itu sedih maupun marah, demi menjaga cita rasa.”

“Tapi kau marah-marah terus, ah?” tuduh Bonghwan, sesuai fakta.

“Kalau itu, yah, karena Anda keluar-masuk Dapur Istana ini sesuka hati. Saya tidak suka.” Manbok diam-diam curhat, selagi ada kesempatan.

MR. QUEENWhere stories live. Discover now