Part 39

143 17 0
                                    

..

Disepanjang jalan Aku trus menangis melihat mobil jenazah yang membawa Abah berada didepan mobil Abang, orang rumah sudah diberitahu tentang Abah dan saat ini Vano dan rey sedang menyiapkan menyambut kedatangan Abah.

Didalam mobil Jenazah ada Uwa Putra yang menemani Abah dan Abang mengusap kepalaku karna posisiku saat ini memeluk lengan Abang, Abang sudah tampak tegar walaupun aku tau dia juga sangat sedih atas pergi nya Abah.

"Ayah sudah otw bang? "tanyaku menatap Abang dengan suara serakku.

"sudah dijalan dengan semuanya"jawab Abang menatapku.

"Adek harus kuat, adek gak boleh trus menerus menangis, jika adek lemah maka Uti akan lemah. Kekuatan Uti ada di adek dan Uwa"ucap Abang yang membuatku menganggukan kepalaku karna aku pun mencoba untuk tegar dan ikhlas.

Sampainya dihalaman rumah Abah semua orang sudah berkumpul mungkin sudah diberitahukan oleh pak RT jika Abah meninggal melalui sound Masjid terdekat, karna setahuku Abah sangat lah dikenal disekelilingnya rumah karna Abah orangnya sangat ramah dan memperkerjakan semua tentangganya di ladang, dikebuh teh dan di usaha Abah lainnya.

Aku keluar dari mobil berdiri didekat pintu mobil melihat tubuh Abah digotong oleh banyak orang termasuk abang, Rey, Vano dan Uwa putra. Aku menangis kembali bahkan tubuhku luruh kebawah rasanya kakiku tidak bisa untuk berdiri tegak melihat digotongnya abah oleh banyak orang, tetangga Abah membantuku berdiri bahkan memapahku masuk kedalam rumah.

Didalam rumah Uwa Icih menangis melihat abah yang sudah ditidurkan ditengah-tengah ruang tamu, Uwaicih meminta maaf belum bisa menjadi menantu yang baik untuk Abah dan Uwa putra berusaha menenagkan WaIcih.

"Nand"panggilku pelan.

"iya Din"

"Uti bagaimana? "tanyaku menatap Rey.

"Uti didalam kamar bersama kawan mu"jawab rey membuatku meminta dia untuk membantuku kekamar Uti.

Saat masuk kamar Uti aku melihat Uti dan Hani sedang menangis bersama sedangkan ditangan kanan Uti terdapat sebuah tasbih putih, Aku duduk disisi Uti dan mencium tangan kanan Uti.

"Andini"panggil Uti memberhentikan tangisannya.

"iya Uti ini Dini"jawabku.

"Dini menangis? Jangan cantik, Abah pernah bilang sama Uti kalau Uti melihat Dini menangis maka Uti harus melarangnya karna Abah tidak mau melihat atas mendengar tangisan Dini"ucap Uti membuat tangisku semakin menjadi bahkan Aku memeluk Uti.

"Cantiknya Uti kamu tidak boleh bersedih karna perginya Abah karna itu semua sudah rencana Allah cantik, tidak ada yang kekal abadi di dunia ini jadi pesan Uti jangan trus larut dalam kesedihan ya cantik jika nanti Uti menyusul Abah jangan pernah ada tangisan ini lagi ya, Ikhlaskan Abah dan Uti pergi dengan hati ikhlas"lanjut Uti membuatku menatap Uti dan menggelengkan kepalaku.

"nggak Uti, jangan tinggalin Dini"jawabku.

"Abah dan Uti sudah berjanji nak jika Abah pergi lebih dulu maka Abah akan menjemput Uti tapi jika Uti pergi dulu maka Uti yang akan jemput Abah"ucap Uti membuatku dan Hani menangis.

"gak boleh Uti, gak boleh ninggalin Dini"

Uti tersenyum dan mengusap kepalaku dengan sayang, aku memeluk Uti dengan tangisku. Aku memejamkan mataku dalam pelukan Uti, selang beberapa menit Aku merasakan ada yang menepuk pundakku setelah itu kubuka mata ternyata Ayah yang menepuk pundakku.

"Ayah"ucapku seraya bangkit dari tidurku, ternyata aku ketiduran dipelukan Uti.

Aku melihat kak Azizah yang menangis di samping Uti, kak Azizah trus mengucapkan kata maaf sedangkan Uti mengusap kepala kak Azizah.

"Adek ganti baju dulu ya, tadi kak Azizah siapin untuk adek yuk"ucap Ayah dan aku pun menganggukan kepalaku.

Aku mengambil Abaya hitam dan pasmina hitam yang diberikan Ayah dan masuk kedalam kamarku dirumah Abah, aku mengganti pakaian ditemani Hani setelah bangun tidur aku lumayan tenang tapi mataku rasanya sangat berat karna sembabnya mataku.

"nih kaca mata kamu, jangan menangis lagi An aku tau kesedihan mu tapi Abah memintamu ikhlas dengan kepergiannya"ucap Hani memberikan kaca mataku.

"iya Han, makasih ya"ucapku memeluk Hani setelah itu keluar dari kamarku.

Diruang tengah sudah banyak orang yang sedang membacakan Yasin sedangkan diluar banyak orang yang menyiapkan untuk memandikan Abah, aku melihat Uwa yang berbicara dengan Amil sedangkan Vano, Rey, bang arya dan bang Luthfi sedang membaca surah Yasin.

Aku mendekat kearah Vano dan menepuk pundaknya membuat dia menatapku,
"ada apa An?"tanya Vano membuatku mengode ke dia untuk ikut denganku.

Aku menarik tangan Vano membuat semua keluarga menatapku juga Vano yang berjalan menuju kebun belakang rumah,
"kenapa? "tanya vano kembali.

"gua minta loe harus bisa minta nomer Ibu gua ke Nada secepetnya"jawabku menyerahkan Hpku ke Vano.

"untuk apa? "

"Abah berpesan ke Uwa putra untuk dia mencari Ibu, gua gak bisa diem Van jika keinginan terakhir abah adalah bertemu dengan Ibu"ucapku.

"loe yakin? An ini akan semakin menyakitkan An buat loe apalagi Om Faqkih"ucap Vano membuatku diam dan menatap Vano.

"Van, bagaimana pun Ibu gua harus tau bahwa orang tuanya udah meninggal dia berhak tau Van. Gua akan menunda pemakaman Abah sampai Ibu datang"

"Andini loe Jangan gila, Loe akan nyiksa abah kalau kaya gitu"

"Van, gua hanya minta loe untuk minta nomer ibu gua ke Nada itu ajh"ucapku meninggikan suara ku ke Vano dan Vano langsung diam yang tau emosionalku sedang tidak baik.

"oke, gua usahain secepatnya"jawab Vano mengambil hpku dan aku pun meninggalakn Vano yang sudah mengutak ngantuk hpku.

Saat aku masuk Uwa menatapku dan aku berjalan menuju Uwa putra,
"Abah akan segera di mandikan Din"ucap Uwa putra membuatku menatapnya lalu aku menggelengkan kepalaku.

"Nggak, jangan mandikan Abah dulu sebelum aku memperbolehkan"jawabku membuat, semua orang menatapku.

"Adek gak boleh gitu, Adek tidak boleh menyiksa abah"ucap Ayah menatapku.

"adek lagi berusaha Yah, sebentar lagi adek mohon. Uwa Dini mohon sebentar Dini sedang usahakan, Dini ingin abah lebih tenang"jawabku seraya menangis, Uwa yang mengerti ucapanku pun menganggukan kepalanya dan mengusap kepalaku.

"apa maksud adek? "tanya Ayah tapi aku tak jawab dan langsung duduk di atas kepala Abah.

Aku menyatukan keningku dengan kening Abah bahkan membuat semua orang terharu menatap ku,
"Dini sedang usahakan bah, Dini mohon maaf jika mengulur semuanya"ucapku seraya mencium kening Abah.

Tiba-tiba ada yang duduk disebelahku seraya membisikan sesuatu,
"gua udah dapet nomernya"ucap Vano membuatku menatap Vano.

"serius? "tanyaku dan Vano menganggukan kepalanya.

Aku mengambil hpku dan melihat isi chatingan Vano dengan Nada setelah itu aku berdiri dan berjalan menuju Uwa yang sedang berbicara dengan amil,
"Uwa"panggilku.

"iya din"

"bisa bicara sebentar di kebun belakang rumah"jawabku dan Uwa pun menganggukan kepalanya lalu mengikuti langkahku.

Dikebuh belakang uwa menatapku dan aku menatap uwa seraya memberikan hpku yang menampilkan nomer Ibu,
"itu nomer Ibu, Uwa bisa tlp Ibu dan bilang jika Abah sudah tiada"ucapku membuat uwa terkejut tapi setelah itu mengambil hpku.

Aku meninggalkan uwa sendiri, Aku butuh pelukan dan pelukanku jatuh pada paman Agus yang sedari tadi memperhatikan ku.

"Dini tidak kuat paman, Dini rapuh"ucapku seraya menangis dan paman hanya mengusap punggungku.

"Dear denger paman, kamu harus ikhlas ingat pesan paman bahwa kamu harus bisa berdamai dengan masalalu dan bisa ikhlas dengan masalalu, biarkan masalalu ada untuk sebuah pelajar jangan pernah kita mengulang atau kembali kemasalalu itu"ucap Paman menatapku dengan senyum abang.

💔💔

Jangan Tinggalkan Aku, Ibu! ( ON GOING )Where stories live. Discover now